Penampakan hilal menjadi pertaruhan umat Islam untuk menentukan permulaan bulan. Sayangnya untuk melihat bulan muda itu, butuh pemahaman ilmu falak dan jam terbang.
Cahaya bulan muda itu sangat tipis. Kuning pucat cenderung putih. Ia terbit berdampingan dengan matahari terbenam. Dalam cuaca cerah, hilal mudah dilihat. Tapi saat polusi mengotori langit atau saat musim penghujan, melihat hilal nyaris mustahil.
Bukan itu saja, untuk melihatnya kita harus memahami ilmu falak atau astronomi dalam ajaran Islam. Setiap tahun, para praktisi ilmu falak dari berbagai ormas Islam berkumpul di titik-titik pengamatan, untuk menentukan hari besar umat Islam, terutama awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Hari itu, Minggu (10/3), satu tim Rukyatul Hilal dari LDII menanti di pinggir Pantai Pelabuhan Ratu. Mereka berkumpul dengan puluhan orang dari berbagai ormas Islam dan perwakilan Kementerian Agama.
Mereka memandang cakrawala saat lembayung senja memeluk sore. Dengan teropong bintang hingga alat-alat pengamatan tradisional, para praktisi hilal itu mengamati langit, menanti munculnya bulan muda.
Keberadaan mereka di Pusat Observasi Bulan (POB) Cibeas, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat itu, hanya satu memastikan munculnya hilal. Ujung-ujung teleskop mengacung ke arah matahari terbenam dan mata-mata pun mulai memicing.
Sayangnya, gumpalan awan tebal mulai menggelayut di ufuk barat, tempat terbenamnya matahari. Salah satu Anggota Tim Rukyatul Hilal DPP LDII, Nanang Ahmad mengatakan sulit melihat hilal pada hari itu. Terlebih, menurut prediksi hisab dan kondisi Astronomi, kemungkinan posisi hilal terlihat sangatlah kecil. Hal ini dipengaruhi oleh hubungan rotasi matahari dengan bumi.
“Terutama saat posisi bulan saat matahari tenggelam menurut prediksi hisab, ketinggian bulan hanya berkisar nol koma sekian derajat, sehingga menurut prediksi kemunculan hilal akan sangat kecil terlihat,” ungkapnya.
Sementara, cuaca menjadi variabel kedua yang mempengaruhi pemantauan hilal. Pusat Observasi Bulan (POB) Cibeas Sukabumi adalah salah satu dari 73 titik pemantauan hilal oleh Tim Rukyatul Hilal LDII yang tersebar di seluruh Indonesia, “Kondisinya cerah berawan, dan berkabut memenuhi arah tenggelamnya matahari, sehingga kemungkinan ketika matahari mulai terbenam akan lebih sulit melihat hilal,” ujarnya.
Meski sejumlah lembaga riset seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memprediksi tanggal jatuhnya awal bulan Ramadan, namun LDII memandang pemantauan hilal tetap perlu dilakukan untuk memastikan hasil perhitungan metode hisab.
“Ini sebagai ihtiar kita untuk memastikan apakah benar-benar bulan atau hilal tidak terlihat atau tidak memenuhi syarat pada hari ini, sebagaimana perintah Allah dalam Al Quran, dan Al Hadits untuk melakukan rukyatul hilal,” lanjutnya.
Setiap awal bulan Ramadan maupun Syawal, kegiatan merukyat hilal menjadi perhatian umat Islam untuk memastikan kapan awal memulai dan mengakhiri ibadah puasa. Itulah sebabnya tradisi melihat hilal dan menghitungnya berdasarkan ilmu falak atau astronomi menjadi perhatian khusus bagi DPP LDII dalam menentukan awal Bulan Hijriyah.
Bahkan, dua minggu sebelumnya, pada Selasa (27/2) Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD) DPP LDII menyelenggarakan latihan teori dan praktik untuk melihat hilal. Pelatihan tersebut diikuti anggota Tim Rukyatul Hilal LDII di seluruh Indonesia.
Ketua Departemen PKD DPP LDII, KH Aceng Karimullah menyampaikan pelatihan itu rutin diselenggarakan LDII untuk mempersiapkan tim yang terlatih untuk mewakili DPW dan DPD LDII dari seluruh Indonesia, “Kami berharap setiap provinsi akan memiliki perwakilan tim hisab rukyat, yang dapat memberikan laporan yang akurat terkait penglihatan terhadap hilal,” harap KH Aceng.
Angan-angan LDII untuk memiliki tim yang khusus mempelajari ilmu falak, terutama untuk melihat hilal, telah dirintis satu dekade lalu. Tim Rukyatul Hilal DPP LDII yang mulai terbentuk sejak 2012. Pada saat terbentuk, mereka hanya memiliki modal lima unit teropong, lalu mengalami lompatan 12 tahun kemudian. Mereka dilengkapi dengan alat yang lebih lengkap, canggih, dan tim yang tersebar di seluruh Indonesia.
DPP LDII berharap bahwa tim hisab rukyat yang terbentuk di setiap provinsi di Indonesia bisa berkolaborasi dengan lembaga atau ormas lainnya. “Kami optimistik bahwa angkatan ketiga ini akan mencapai semua provinsi, dan kami berharap setiap tim dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu ini di tingkat lokal,” tambahnya.
Senada dengan KH Aceng Karimullah, anggota Departemen PKD DPP LDII, Wilnan Fatahillah, menjelaskan mengenai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) tim rukyatul hilal. Menurutnya, Tim Rukyatul Hilal DPP LDII terdiri dari pengurus DPP yang telah mendapatkan pelatihan hisab-rukyat, serta pengurus atau guru pondok pesantren yang telah mengikuti pelatihan serupa, “Mereka menjadi ujung tombak dalam melakukan pengamatan dan perhitungan posisi hilal,” ujar Wilnan.
Salah satu tugas utama tim ini adalah membuat perhitungan jatuhnya awal Ramadan, Syawwal, dan Dzuhijjah, serta melaporkannya kepada Ketua Umum dan Dewan Penasihat Pusat DPP LDII, “Mereka juga bertanggung jawab melaksanakan pengamatan hilal di lokasi yang telah ditentukan, baik secara mandiri maupun bersama pemerintah dan organisasi Islam lainnya, sebagai konfirmasi atas hisab yang telah dilakukan.
Mereka juga bertugas untuk menggali lebih dalam pengetahuan tentang ilmu falak melalui pelatihan hisab-rukyat, serta membuat laporan kegiatan dan memonitor tim rukyat hilal di wilayah DPD Kota/Kabupaten.
Usai mengikuti pelatihan, mereka kemudian menyebar untuk melakukan rukyatul hilal di 73 titik pemantauan di seluruh Indonesia. Dengan jeli, mereka mengintip angkasa dari balik lubang teleskop dan binocular. Hasil pemantauan tersebut kemudian dilaporkan sebagai bahan rujukan penentuan awal Ramadan yang akan dibahas pada Sidang Isbat Kementerian Agama.
Untuk membentuk tim yang mumpuni, DPP LDII membuat pelatihan dengan menghadirkan pakar ilmu falak seperti Cecep Nurwendaya dan pendiri Observatarium Imah Noong, Hendro Setyanto. LDII juga bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Berbagai kerja sama tersebut untuk meningkatkan kemampuan Tim Rukyatul Hilal LDII.
Menurut Wilnan, LDII dalam menentukan hari-hari besar umat Islam menggunakan hisab dan rukyat, rukyat dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil perhitungan atau hisab yang sudah dilakukan jauh-jauh hari, “Sehingga baik hisab maupun rukyat itu kami laksanakan untuk menetapi perintah dalam Al Quran maupun Al Hadits,” tutupnya. ®
[Fitri Utami/LINES]