Tumpang tindih hak kepemilikan atas tanah sebagai akibat dari praktik kejahatan BIDANG pertanahan masih tumbuh subur di Indonesia. Modus kejahatannya pun terus berkembang, melibatkan sekelompok orang yang saling bekerja sama secara sistematis dan terstruktur. Publik lebih mengenal tindakan ilegal tersebut dengan sebutan kejahatan mafia tanah.
Istilah mafia tanah sebenarnya tidak dikenal dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Istilah mafia tanah disebutkan pada Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN tentang Petunjuk Teknis Nomor:01/Juknis/D.VII/2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah. Pengertian mafia tanah adalah “Individu, kelompok dan/atau badan hukum yang melakukan tindakan dengan sengaja untuk berbuat kejahatan yang dapat menimbulkan dan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan penanganan kasus pertanahan.
Kementerian ATR/BPN merilis kinerjanya di sepanjang tahun 2023, dimana Satgas Anti Mafia Tanah telah menuntaskan setidaknya 62 dari 86 Target Operasi (TO) kasus Mafia Tanah. Potensi kerugian yang berhasil diselamatkan senilai 11 Trilyun Rupiah, dengan jumlah Tersangka sebanyak 159. Pada awal tahun 2024, Satgas Anti Mafia Tanah menetapkan sebanyak 82 kasus menjadi Target Operasi (TO) dengan potensi kerugian 1,7 Trilyun Rupiah.
Menilik dari sejarahnya, upaya pemerintah melakukan pembaharuan dalam tata kelola pertanahan sejatinya telah dimulai jauh semenjak masa Agresi Militer Belanda II, yaitu kisaran tahun 1948. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Peraturan Agraria atau yang lebih dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) akhirnya terbit 12 tahun sejak dirumuskan. Tidak mudah untuk melakukan pembaharuan tata kelola pertanahan yang begitu kompleks, apalagi untuk mereformasi regulasi warisan kolonial seperti Agrarische Wet (Staatsblad 1870 Nomor 55), Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 Nomor 118) Koninklijk Besluit (Staatsbad 1872 Nomor 117) beserta aturan-aturan pelaksanaannya serta mencabut sebagian isi Buku Kedua Kitab UU Hukum Perdata khususnya yang terkait dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara untuk bumi (tanah) sebagaimana pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi yakni memposisikan Negara sebagai pengatur (regulator), merumuskan kebijakan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoutdendaad) untuk menjamin masyarakat dapat menikmati tanah demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Tanah merupakan asset penting bagi kehidupan manusia. Disamping menjadi tempat bermukim, tanah juga menjadi sumber penghidupan yang memiliki nilai ekonomis. Permasalahan tanah semakin komplek seiring dengan kebutuhan masyarakat terkait ketersedian lahan pertanahan. Berbagai cara telah dilakukan demi mendapatkan tanah itu sendiri untuk dimiliki. Terjadinya kasus sengketa tanah di dalam masyarakat tidak sedikit yang terbukti melibatkan para mafia tanah.
Dr. Aarce Tahupeiroy, dari Universitas Kristen Indonesia, dalam penelitiannya menyatakan berbagai modus mafia tanah dilakukan melalui cara permufakatan jahat untuk menimbulkan sengketa, konflik dan perkara pertanahan. Permufakatan jahat tersebut banyak dilakukan aparat Desa/Kelurahan dengan membuat salinan girik, membuat surat keterangan tidak sengketa, membuat surat keterangan penguasaan fisik atau membuat surat keterangan tanah lebih dari satu kepada beberapa pihak untuk bidang tanah yang sama. Modus lain juga dilakukan dengan memprovokasi masyarakat untuk menguasai atau mengusahakan tanah secara ilegal di atas tanah perkebunan HGU baik yang akan berakhir maupun yang masih berlaku.
Praktik kejahatan mafia tanah dilakukan secara terencana, rapi, dan sistematis. Tak sedikit yang melibatkan orang-orang dekat, oknum institusi, oknum Notaris/PPAT, oknum Badan Pertanahan Nasional, tak terkecuali oknum penegak hukum. Modus kejahatan yang digunakan oleh mafia tanah diantaranya; pemalsuan dokumen, pendudukan ilegal atau tanpa hak (wilde occupatie), mencari legalitas di pengadilan, rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, melakukan jual beli tanah yang dilakukan seolah-olah secara formal, dan hilangnya warkah tanah.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk memutus mata rantai mafia tanah salah satunya dengan memanfaatkan dan tidak menelantarkan kepemilikan atas lahan tanah, disamping memfungsikan kegunaan tanah dan tetap menguasainya secara fisik. Tanah-tanah yang belum bersertifikat harus ditingkatkan statusnya menjadi tanah bersertifikat. Seringkali pemilik tanah menunda sertifikasi tanah sebab mahalnya biaya sertifikasi, sehingga pemilik tanah seringkali menunda untuk melakukan sertifikasi. Akibatnya pemilik tanah tidak memiliki jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanahnya sehingga tanahnya rawan direbut dan dikuasai pihak lain secara tidak sah.
Maraknya praktik mafia tanah selama ini juga tidak lepas dari penanganan kasus sengketa tanah yang cenderung fokus dalam ranah keperdataan. Padahal, tidak sedikit kasus sengketa tanah yang di dalamnya terdapat indikasi tindak pidana. Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Dirjen PSKP), Kementerian ATR/ BPN, R. Bagus Agus Widjayanto, setidaknya telah mencatat ragam modus kejahatan pertanahan yang paling banyak dilakukan adalah dengan cara memalsukan dokumen yaitu sebanyak 66 persen, selanjutnya dengan cara penggelapan dan penipuan sebanyak 16 persen, serta secara cara okupasi ilegal (11 persen). Tindakan pemalsuan, penggelapan, dan okupasi illegal tersebut nyata-nyata masuk dalam ranah tindak pidana.
Dalam praktiknya, mafia tanah seringkali memanfaatkan kelemahan sistem birokrasi pertanahan. Mafia tanah sangat menguasai regulasi dan formalitas penerbitan sertifikat tanah, mulai dari persyaratan, prosedur, proses, hingga penerbitan sertifikat tanah. Salah satu kelemahan yang dimanfaatkan oleh mafia tanah dimana BPN hanya meneliti kebenaran formil dan tidak memiliki kewenangan menguji kebenaran materiil legalitas permohonan sertifikasi tanah. Sehingga dokumen palsu yang diajukan dalam proses sertifikasi tanah dimungkinkan diterima dan dapat terbit sertifikat tanah bersangkutan.
Ancaman pidana penjara terhadap kejahatan mafia tanah sesungguhnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diantaranya adalah; kejahatan terhadap pemalsuan surat atau dokumen yang masing-masing diatur dalam Pasal 263, 264, 266, dan 274 KUHP, kejahatan terhadap penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167 KUHP, tindak pidana penggelapan hak yang berkaitan dengan barang tidak bergerak seperti tanah, rumah, sawah. Kejahatan ini sering disebut sebagai kejahatan stellionaat yang diatur dalam pasal 385 KUHP. Kejahatan terhadap pemberian sumpah palsu dan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 242 KUHP, yaitu kejahatan menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik.
Pada akhirnya, sekuat apapun regulasi tata kelola pertanahan dan seberat apapun ancaman pidananya, praktik kejahatan mafia tanah tidak akan selesai tanpa kerja sama yang solid dan terintegrasi antar stake holder terkait. Di satu sisi masyarakat berharap Negara melakukan penegakan hukum secara tegas dan memberikan pemberatan hukuman terhadap kejahatan mafia tanah. demikian halnya, masyarakat juga dituntut memiliki kepekaan dan kesadaran tinggi mengupayakan kepastian hukum status kepemilikan tanahnya mewaspadai berbagai modus kejahatan mafia tanah.
Oleh: Ibnu Anwaruddin (Ketua DPP LDII Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia)