Bandung (22/10) – Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia khususnya Jawa Barat, menimbulkan dampak buruk terhadap perekonomian. Pemulihan ekonomi dan ketahanan pangan pasca pandemi Covid-19 diperkirakan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga diperlukannya sinergitas stakeholder terkait serta masyarakat.
Meskipun pemerintah telah memberikan stimulus berupa bantuan sosial dan modal usaha untuk menggairahkan kembali roda perekonomian yang melemah, namun belum bisa membangkitkan kembali perekonomian. Bahkan Indonesia mulai memasuki masa resesi.
Menyikapi kondisi ini, Dewan Pimpinan Wilayah Lembaga Dakwah Islam Indonesia Provinsi Jawa Barat (DPW LDII Prov Jabar) mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bidang Ekonomi dan Ketahanan Pangan sebagai rangkaian Pra Musyawarah Wilayah (Muswil) VIII dengan Tema “Pemulihan Ekonomi dan Ketahanan Pangan Pasca Pandemi Covid-19 untuk Jawa Barat Maju dan Mandiri” bertempat di GSG Masjid Baitul Mustajab Jl. Riungmas No. 9 Bandung, Sabtu (17/10/2020).
FGD ke-2 Ini digelar secara daring yang diikuti 27 DPD LDII Kota/Kabupaten se-Jawa Barat. Hasil dari FGD ini dijadikan sebagai bahan acuan LDII jabar untuk menyusun program kerja yang bersinergi dengan program unggulan Pemprov Jabar. FGD bidang Ekonomi dan Ketahanan Pangan ini menghadirkan lima narasumber yaitu Prof DR Ir Sudarsono MSc Guru Besar Plant Molecular Biology Lab Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor sekaligus Ketua DPP LDII; H Endang Ahmad S SP MEP Plt.
Kepala Bidang Distribusi dan Ketersediaan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Prov. Jabar; Dr Tatang Suryana SSi MSi Kepala Bidang Usaha Kecil Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Prov. Jabar; Bambang Nurhadi STP MSc PhD Ketua Pusat Studi Pengembangan Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran, dan Dr Bayu Kharisma SE MM ME Kepala Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Bisnis Universitas Padjadjaran.
Dalam sambutannya, Ketua DPW LDII Prov Jabar Drs H Bahrudin MM mengatakan, LDII selama ini selalu mendukung pemerintah untuk memajukan ekonomi kreatif. Caranya dengan mendirikan kegiatan perekonomian di setiap kota/kabupaten, yang diberi nama Usaha Bersama (UB).
Dalam 10 tahun terakhir, terbentuk sebanyak 150 UB di seluruh Jabar. Sementara bidang usaha yang dilakukan masing-masing UB berbeda tergantung kebutuhan lingkungannya. Bidang usaha UB antara lain di bidang produksi, jasa, distribusi, properti, dan bidang keuangan syariah seperti BMT dan BPR Syariah.
Selain itu, bidang peternakan, pertanian, perikanan, dan perkebunan. “Untuk memudahkan dan terjalinnya kerjasama antar UB, maka kami juga membentuk Forum Komunikasi UB, yang dibagi dalam beberapa rayon. Tujuannya supaya ada sinergi diantara UB-UB dalam mengembangkan usahanya,” ujar Bahrudin.
Bahkan, imbuh Bahrudin, lembaga pendidikan LDII di Garut mengkombinasikan lembaga pendidikan, yakni SD, SMP, SMA, dan SMK dan pondok pesantren dengan usaha di bidang pertanian, perikanan, dan perternakan sebagai upaya pembelajaran dan pembekalan kepada anak didik.
“Kami akan mengembangkan pola seperti ini di daerah lainnya. Ini merupakan salah satu bentuk dukungan LDII untuk memulihkan perekonomian dan ketahanan pangan pasca pandemi Covid-19,” urainya.
Sementara itu, Prof DR Ir Sudarsono MSc Guru Besar Plant Molecular Biology Lab Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor mengatakan, produktivitas padi secara nasional pada periode 2018-2019 turun 7,76% atau setara 4,6 juta ton. Sementara produksi beras pada tahun 2018 sebanyak 32,4 juta ton dan turun menjadi 31,3 juta ton pada tahun 2019.
Diperkirakan produksi beras pada tahun 2020 tetap di kisaran 31 juta ton. Sedangkan kebutuhan beras sebanyak 29,6 juta ton atau ada surplus 2,8 juta ton atau setara cadangan konsumsi beras selama sebulan. Di akhir tahun 2020, pemerintah diprediksi harus mengimpor beras 2.10 juta ton. Jika impor beras tidak dilakukan maka akan terjadi kekurangan stok beras di awal tahun 2021.
“Idealnya stok beras itu minimal untuk 2-3 bulan konsumsi atau setara 6-9 juta ton. Perhitungan ini harus dimasukkan dalam menghitung neraca beras. Dengan penurunan produksi, harga beras mengalami kenaikan sejak awal tahun 2020,” ujar Sudarsono.
Apalagi, tambah Sudarsono, areal tanam padi pada tahun 2019 berkurang dibandingkan tahun 2018. Tercatat luas panen 10,9 juta hektare pada 2018 dan turun menjadi 10,7 hektare pada 2019. Produksi padi juga turun dari 56,5 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2018 menjadi 54,6 juta ton GKG pada 2019.
“Salah satu solusinya adalah dengan mengurangi seperlima konsumsi beras. Kalau makan, dikurangi jatah nasinya seperlima, diganti dengan sumber karbohidrat lain. Jadi tetap mengkonsumsi nasi, hanya mengurangi seperlima jatah normal saja, dan pengendalian ini tidak tergantung dari faktor luar. Saya harap LDII bisa mempraktekkan hal ini sebagai bentuk kontribusi kita dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Kalau semua masyarakat Indonesia bisa melaksanakannya, kebutuhan beras kita berkurang seperlimanya menjadi 23-24 juta ton beras per tahun,” papar Ketua DPP LDII ini.
Sedangkan untuk kondisi ketahanan pangan di Jabar, menurut H Endang Ahmad S SP MEP Plt. Kepala Bidang Distribusi dan Ketersediaan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Prov. Jabar, pemprov melaksanakan beberapa program terkait dampak pandemi Covid-19 yakni fasilitas biaya distribusi pangan, penguatan lumbung pangan masyarakat, penguatan cadang pangan pemerintah daerah, pengembangan usaha pangan masyarakat, gelar pangan murah, pertanian keluarga, pekarangan pangan lestari, dan bantuan ternak. Tujuannya agar kebutuhan pangan tetap terpenuhi dengan harga yang bisa dijangkau masyarakat.
“Kegiatan yang paling cocok dilaksanakan masyarakat adalah pekarangan pangan lestari yang mengusahakan lahan pekarangan sebagai sumber pangan secara berkelanjutan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan, serta pendapatan. Ini cocok dilaksanakan warga LDII sebagai ketahanan pangan mandiri masing-masing rumah tangga,” urai Endang.
Sementara Bambang Nurhadi STP MSc PhD Ketua Pusat Studi Pengembangan Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran memberikan alternatif solusi dari berkurangnya produksi pertanian. Diantaranya, peningkatan nilai tambah produk pertanian mutlak harus menjadi prioritas untuk pembangunan ke depan, mengganti strategi dari strategi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, dan produk dengan nilai tambah tinggi akan memberikan keuntungan ekonomi untuk bangsa yang memberikan keuntungan untuk mencapai ketahanan pangan.
“Salah satu studi kasus yakni pengembangan produk pertanian rempah-rempah menjadi produk bernilai tambah tinggi. Selama ini rempah-rempah hanya dikembangkan dalam bentuk segar dan kering baik berupa utuh, cincang, dikeringkan, maupun bubuk. Padahal ada kelemahannya, yaitu umur simpan yang pendek, kandungan mikroba yang tinggi, flavor dan warna tidak seragam, ketersediannya tidak sepanjang tahun, selama masa penyimpanan tidak stabil, dan penggunaannya tidak praktis,” ujar Bambang.
Jika rempah-rempah diolah, tambah Bambang, bisa menjadi minyak esensial, oleoresin, maupun ekstrak, baik berupa cair maupun bubuk. “Amerika menjual produk esktrak rempah-rempahnya Rp 1 juta per kg. Padahal jika dijual dalam bentuk aslinya, harganya murah. Disinilah peluang kita untuk meniru membuat produk ekstraksi. Bahan bakunya melimpah di negara ini, tinggal ditingkatkan nilai tambahnya,” jelasnya.
Secara ekonomi, pandemi Covid-19, menurut Dr Tatang Suryana SSi MSi Kepala Bidang Usaha Kecil Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Prov. Jabar, berdampak terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dampak paling besar dirasakan usaha skala mikro yakni usaha dengan omset hingga Rp 300 juta per tahun, dimana terjadi penurunan omset secara drastis. “Saat ini harga bahan baku naik dan sulit didapat.
Selain itu kesulitan permodalan, sehingga produksi dan distribusi terhambat. Di sisi lain terjadi penurunan daya beli masyarakat. Akibatnya omsetnya anjlok,” ujar Tatang. Sebagai solusinya, imbuh Tatang, pemprov akan memfasilitasi kemudahan memperoleh bahan baku, membentuk BLUD, memfasilitasi pembiayaan, memfasilitasi pemasaran, dan program padat karya.
“Contoh dari solusi ini adalah pengadaan kain masker untuk pembuatan 2 juta masker yang menggandeng 200 UMKM pada tahap pertama. Tahap berikutnya akan membuat 8 juta masker dengan menggandeng 600 UMKM. Dari pembuatan masker ini, semua program solusi dilaksanakan,” jelasnya.
Sementara Dr Bayu Kharisma SE MM ME Kepala Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Bisnis Universitas Padjadjaran menambahkan, ada beberapa solusi untuk membangkitkan kembali para pelaku UMKM yang terpuruk. Solusi itu antara lain mendorong sektor ekonomi yang berbasis teknologi untuk menjaga perekonomian Jabar di tengah kondisi pandemi Covid-19, yang terjadi karena perubahan perilaku masyarakat yang lebih banyak melakukan kegiatan secara daring.
“Caranya dengan Mendorong UMKM bermigrasi ke sektor digital (digitalisasi UMKM), masyarakat yang memiliki akses terbatas dapat secara langsung berinteraksi melalui penggunaan teknologi digital. Selain itu, membangkitkan transformasi digital sektor ekonomi pertanian, ekonomi kreatif, pendidikan, keuangan inklusif, kesehatan dan transportasi/logistik” ujar Bayu.
Oleh: Rully Sapujagad (contributor) / Fachrizal Wicaksono (editor)