
Kongres Umat Islam Indonesia ke-7 (KUII ke-7) akan menyoroti pentingnya terwujudnya sistem ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. “Konsepsi perekonomian berkeadilan dan berperadaban yang dilandasi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, implementasinya tetap mempertahankan persatuan dan azas kerakyatan yang berujung tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui konsep ini, berbagai kesenjangan pendapatan dan ekonomi diharapkan dapat diatasi. Konsep ekonomi yang berke-Tuhanan, ekonomi berkeadilan dan beradab ini untuk menghilangkan berbagai kesenjangan antara kaya-miskin, pusat-daerah, antardaerah, dan kesenjangan produk nasional dengan produk luar,” ujar Zaitun Rasmin, Ketua Organizing Committe (OC) KUII ke-7, dalam konferensi pers menyongsong KUII ke-7 di Kantor MUI Pusat, Jakarta (Jumat, 7 Februari 2020).
Dalam konferensi pers yang sekaligus silaturahim dengan media ini, Zaitun Rasmin didampingi Rofiqul Umam, Sekretaris Steering Committee (SC) KUII VII, Zubaidi, Sekretaris Komisi Dakwah MUI, dan Edikus, anggota Komisi Infokom MUI. Selain persiapan KUII ke-7, Rofiqul Umam dan Zaitun Rasmin menjelaskan sekilas agenda dan beberapa materi yang akan dibahas dalam KUII ke-7 yang akan dilaksanakan pada tanggal 26-29 Februari 2020 di Bangka Belitung.
Ada pun tema KUII ke-7 ini adalah “Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia dalam Mewujudkan NKRI yang Maju, Adil, dan Beradab”. “Tema ini telah dibahas dalam panitia pengarah dengan memperhatikan kondisi umat sekarang dan bagaimana meningkatkan dan memperkuat peran umat Islam Indonesia lima tahun ke depan. Ada delapan materi yang tengah dipersiapkan panitia pengarah yaitu terkait bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan, media, filantropi, kehidupan beragama, dan terakhir semacam rekomendasi atau nanti bisa berupa deklarasi atau piagam yang merupakan hasil pembahasan dari kongres ini,” ujar Zaitun Rasmin.
Zaitun Rasmin menambahkan bahwa di bidang pendidikan, misalnya, pembangunan pendidikan nasional di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja bangsa yang mencakup (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; (c) penataan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik; dan (d) peningkatan pembiayaan; (d) akomodasi kebudayaan dalam pendidikan. “Dengan demikian, upaya peningkatkan kinerja pendidikan nasional memerlukan suatu reformasi menyeluruh,” ujar Zaitun Rasmin.
Selain itu, dalam siaran pers dari panitia KUII ke-7, dijelaskan bahwa cita-cita pendidikan dan kebudayaan dalam perspektif Islam dan pancasila adalah pendidikan yang religius. Pendidikan religius adalah sistem pendidikan yang tidak sekadar berorientasi pada tujuan kecerdasan dan keterampilan untuk bekerja yang bersifat pragmatis, akan tetapi menekankan pengembangan diri manusia yang memiliki nilai-nilai mulia baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, serta untuk kehidupan dunia dan akhirat, dengan kata lain untuk menjadi manusia yang insan kamil.
Di bidang filantropi Islam, KUII ke-7 akan menyoroti tentang peluang dan optimalisasi filantropi Islam. Dari total 164 negara di dunia, Indonesia masuk menjadi 10 negara paling dermawan di dunia dalam lima tahun terakhir (World Giving Index, 2019-2015). Bahkan Indonesia sempat menjadi negara paling dermawan pada tahun 2018, jauh di atas negara-negara lainnya (World Giving Index, 2018). Penilaian kedermawanan ini dilihat dari aspek pemberian pertolongan kepada orang asing (stranger), tenaga kesukarelawanan, dan donasi berupa uang, barang dan atau jasa.
Tercatat, dari sekitar 269,6 juta seluruh penduduk Indonesia, 87,17%-nya adalah masyarakat Muslim (BPS, 2019). Artinya, di tengah bonus demografi yang dialami Indonesia kini, potensi kedermawanan masyarakat Muslim di Indonesia, utamanya di kalangan millenial, sangatlah besar. Meski dermawan, namun masyarakat muslim Indonesia masih sedikit yang memahami pentingnya sumbangan pra dan pascabencana kepada masyarakat yang berada di wilayah dengan potensi bencana alam yang besar. Umat Islam gemar menyumbang tetapi tidak ada kesadaran untuk melakukan kontrol terhadap penyaluran bantuan sosial kemanusiaan. Lembaga filantropi tumbuh dengan subur, tapi di lain pihak belum banyak lembaga filantrofi yang profesional sehingga tidak terdata secara nasional, regional, maupun global.
Sementara di bidang kehidupan beragama ditengarai ada kegagalan sebagian umat beragama dalam memahami pesan kemajuan dari ajaran agamanya. Ekspresinya adalah praktik al-ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam tekstualisme dan rasionalisme. Dalam siaran pers KUII ke-7, disebutkan ada dua hal kegagalan memahami sumber ajaran Islam, yaitu tekstualisme (tasyaddud/tafrith), liberalisme (tasahul/ ifrath), sekularisme dan sinkretisme. Lebih jauh lagi, tekstualisme menyebabkan umat Islam berpikir sempit dalam memaknai Islam sehingga menjadi stagnan, fobia kemajuan dan perubahan, dan tertinggal derap zaman. Model tekstualisme agama inilah yang telah dipolitisasi, dikapitalisasi, dan diideologisasi yang antara lain oleh oknum umat Islam menjadi aksi ekstremisme dan terorisme berlatar belakang pemahaman agama. Padahal umat Islam diharapkan menjadi umatan wasatha (ummah wasathiyah), yang menjadi role model umat terbaik (Khaira Ummah) dalam segala aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah serta keharmonisan kehidupan dan menjadi pemimpin peradaban yang berlaku adil dan menengahi serta mengurai problematika manusia. Selain itu, semakin eratnya persaudaraan sesama umat Islam, menguatnya jiwa patriot dan bela negara serta muslim yang humanis, tambahan lagi terwujudnya hubungan antara agama dan negara-bangsa (nationstate) yang semakin kuat dan saling membutuhkan, maka ke depan diharapkan tidak lagi mempertentangkan posisi agama dalam negara dan posisi negara dalam agama.
Di bidang politik, KUII ke-7 akan menyoroti pula kehidupan politik Indonesia yang cenderung semakin liberal-sekuler yang mengabaikan nilai-nilai dasar Pancasila, UUD 1945 dan nilai-nilai luhur agama dan budaya bangsa. Dalam siaran pers dari panitia KUII ke-7, ada catatan bahwa kecenderungan politik yang liberal-sekuler ini telah mengakibatkan praktek-praktek politik yang transaksional, koruptif, diskriminatif, kanibal dan oligarkis. Oleh karena itu, KUII ke-7 akan merumuskan strategi perjuangan umat Islam di bidang politik antara lain demi terwujudnya partai politik Islam dan partai berbasis umat Islam yang modern, kuat, dan aspiratif, bersih dengan tata kelola yang baik, sehingga mampu melahirkan kepemimpinan politik yang efektif, transformatif, peka terhadap perubahan zaman, cepat dan tepat dalam mengambil kebijakan.
Strategi umat, dalam siaran pers dari panitia KUII ke-7 di bidang hukum, menyoroti fakta bahwa penegakan Hukum melalui lembaga peradilan belum mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfataan bagi masyarakat, sehingga timbul pameo “hukum itu tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Bagaimana terbentuknya peraturan perundang-undangan yang tetap konsisten berdasarkan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Dasar Negara serta terbentuknya hukum nasional yang berorientasi pada maqasidus syariah yang esensinya diakui semua agama yang ada di Indonesia.
Di bidang media, KUII ke-7 akan membahas mengenai dakwah di bidang media sosial. Di kalangan umat Islam, internet paling banyak diakses oleh generasi milenial, terutama kalangan muslim kota dan kelas menengah. Fakta ini merupakan kesempatan bagi MUI untuk bisa memperluas dakwah.
Sebelum KUII ke-7 ini, di Bangka Belitung, akan digelar Seminar mengenai destinasi wisata halal sebagai upaya untuk mendorong sektor parawisata. Sebanyak 700 peserta diagendakan akan menghadiri KUII ke-7 ini. Presiden RI, Joko Widodo dijadwalkan membuka kongres sementara Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin, akan diagendakan menutup perhelatan KUII ke-7.