BATAM – Negara Indonesia memiliki 5,8 juta km2 wilayah laut dengan garis pantai 95.181 km dan zona ekonomi eksklusif seluas 2,7 km2, merupakan salah satu negara dengan wilayah maritim terluas. Sementara Kepri sendiri memiliki luas 252.601 km2 (menurut Pemerintah Pusat) dengan 95% merupakan lautan, sedangkan 5%-nya adalah daratan. Bisa dikatakan Kepri merupakan provinsi dengan banyak kepulauan. Untuk itu diperlukan peningkatan teknologi, sarana-prasarana, dan pengembangan SDM di bidang kemaritiman dimulai dari pengembangan budi daya kelautan, eksplorasi, hingga pertahanan, demikian ungkap Ketua DPW LDII Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) saat membuka focus group discussion di Graha Pena Batam, Kepri, 6 oktober 2016.
Sementara itu, Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hood menitikberatkan pada masalah ekonomi para nelayan yang masih dirasa kurang. “Dulu, peluat Kepri ini cukup baik ekonominya, karena mereka mengalami pasar bebas di wilayah Kepri. Uang dollar pun mudah didapat. Tapi sekarang sulit. apalagi masih kurangnya teknologi kemaritiman di wilayah ini. Maka diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung peningkatan teknologi maritim. Saya berharap, teman-teman anggota legislatif dapat lebih aktif mendorong kebijakan terhadap perlindungan nelayan, peningkatan kesejahteraan nelayan, hingga pertahanan kedaulatan NKRI. Tidak bisa dipungkiri, nelayan-nelayan Kepri kalah bersaing nelayan-nelayan dari wilayah lain, sehingga diperlukan peningkatan ilmu kemaritiman bagi warga Kepri.”
Dewan Pakar ICMI Ir. H. Prasetyo Sunaryo, MT., menuturkan, Putusan PCA yang meneguhkan UNCLOS sebagai hukum internasional di wilayah kelautan, maka hak nelayan tradisional Indonesia telah ternaungi, dalam konteks negara kepulauan (archipelagic state). Indonesia yang dalam UNCLOS sudah jelas dinyatakan sebagai negara kepulauan (archipelagic state) mempunyai hak ZEE dalam pengelolaan perikanannya. Dengan demikian menyangkut pengelolaan perikanan di zone ZEE di perairan Natuna, merupakan hak sepenuhnya negara Indonesia. Bagi negara lain yang ingin melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE diperairan Natuna harus melakukan perjanjian bilateral dulu dengan Indonesia. Inilah kaidah pergaulan internasional yang berlaku dalam persoalan perikanan didaerah ZEE bagi sebuah negara yang telah dinyatakan sebagai arcipelagic state (negara kepulauan).
Guna menjaga kedaulatan wilayah, perlu diwujudkan sistim pertahanan integratif di wilayah propinsi Kepulauan Riau, yang termasuk di dalamnya wilayah perairan di Kabupatan Natuna, yaitu yang berupa pertahanan militer (hard power) yang simultan dengan pertahanan nir militer (soft power).
Untuk pertahanan militer diusulkan menggunakan sistim teknologi pertahanan terintegrasi, baik yang berdimensi laut seperti kapal-kapal perang/pengintai TNI AL dan sistim pengintaian pertahanan laut melalui udara seperti teknologi drone (pesawat nir awak) yang dapat dikendalikan dari kapal maupun dari daratan dengan wilayah jangkauan yang memadai untuk pemantauan khususnya di wilayah yang dianggap terjadi tumpang tindih (antara versi ZEE UNCLOS vs Claim China/9 dash line).
Sistim pertahanan nir militer dilakukan dengan jalan, agar mendayagunakan potensi nelayan Natuna dengan meningkatkan kapasitas perikanan tangkapnya, baik dari aspek ketersediaan teknologi yang memadai (teknik penangkapan, storage system dan delivery) dan kemampuan SDM perikanannya maupun kemudahan pemasaran hasil perikanan tangkap di wilayah perairan Natuna dan sekitarnya.
Bila perbandingan kapasitas perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fishing) masih diatas kapasitas tangkap nelayan Kabupaten Natuna dan Propinsi Kepri, maka dapat didatangkan nelayan dari daerah-daerah yang sudah over fishing, dengan pengaturan khusus. Disamping kegiatan perikanan perlu dilaksanakan kegiatan penelitian potensi Laut Natuna, maka dapat dikembangkan bahwa laut dalam wilayah Propinsi kepulauan Riau menjadi salah satu pusat penelitian maritim dari aspek sumberdaya alam non perikanannya. Kegiatan penelitian dan perikanan di laut Natuna juga harus mendapatkan pengawalan yang memadai dari coast guard Indonesia yang dalam hal ini adalah Bakamla (Badan Keamanan Laut) bersama TNI AL.
Dalam mewujudkan pertahanan nir militer ini, ada beberapa misi yang hendak dicapai. Pertama adalah, optimalisasi pendayagunaan sumberdaya hayati dan non hayati yang ada di perairan Natuna sekaligus peningkatan upaya peningkatan kesejahteraan nelayan dan penduduk di propinsi Kepulauan Riau. Kedua, para nelayan Indonesia dapat ikut memantau pergerakan nelayan asing, baik yang berpotensi memasuki perairan Indonesia dan sekaligus memantau tentang apa yang dicari oleh para nelayan asing tersebut. Fakta lain, para nelayan asing yang berlayar jarak jauh tanpa perlengkapan pendingin atau pengawet perikanan, memberikan indikasi bahwa nelayan tersebut prioritasnya tidak mencari ikan tetapi mencari kekayaan laut hayati non perikanan seperti : karang merah (red coral) dan giant clams yang akan diperlukan sebagai bahan baku “perhiasan” berbasis produk kelautan. Beberapa jenis karang tersebut sebenarnya termasuk biodiversitas yang dilindungi. Apakah jenis karang tersebut banyak terdapat di laut Natuna ? Bila memang banyak, tentu pelanggaran willayah pencarian sumberdaya hayati kelautan berpotensi meningkat.
Perwujudan sistim pertahanan nir militer dengan pola ini, akan menyempitkan ruang pelanggaran oleh nelayan asing dari manapun datangnya di wilayah kedaulatan maritim Indonesia.
Utusan dari Bakamla Zona Maritim Barat Kombes Hadi Purnomo menyoroti pentingnya teknologi pertahanan yang kuat. Karena selama ini, selain kurangnya unit kapal patrol, teknologi yang ada sudah ketinggalan jaman, dan perlu di-upgrade. Hingga bisa menjaga wilayah kedaulatan NKRI dengan baik. “Kapal-kapal yang ada belum memadai untuk melakukan patroli dan penyergapan cepat. Kami perlu tambahan unit, juga teknologi baru untuk mengawasi wilayah maritim yang luas, tanpa itu, setiap saat kita akan terus kecolongan”.
Selain masalah teknologi, peraturan pemerintah masih mempersulit dalam proses hukum pelanggar wilayah RI,”Kami bisa menangkap, tapi yang melakukan penyidikan diserahkan pihak lain.” Seperti kita ketahui, dalam penegakkan hukum di laut, ada lembaga Kepolisian, TNI AL serta Bakamla.
Dari FGD ini menghasilkan rekomendasi agar peningkatan teknologi, sarana prasarana dan SDM kemaritiman merupakan hal mutlak untuk segera diwujudkan di wilayah Kepri. Begitu juga peningkatan teknologi pertahanan. Sementara di bidang ekonomi, diperlukan pasar pelelangan ikan yang banyak, supaya bisa menampung hasil tangkapan nelayan. Dalam hal pendidikan, diusulkan agar Provinsi Kepri menjadi pusat pendidikan kemaritiman.
Acara dihadiri oleh Prof. M. Idris, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji, anggota DPRD Provinsi Kepri H. Sukri Farial, SH, dan Ruslan, SE. Moderator adalah Yusi Kusmayadi, SE,MM., dari kampus Ibnu Sina Batam./*