Kaum rebahan merujuk kepada generasi muda yang suka bermalas-malasan di ranjang sambil memegang ponsel. DPP LDII mengarahkan potensi mereka dalam mengelola media sosial.
Mendung sejak sore di atas langit Jakarta, rupanya tak sanggup lagi menahan hujan. Awan gelap yang menggelayut itu berubah menjadi hujan lebat. Para pemotor menepi, berganti dengan mobil-mobil yang merayap dihempas kabut hujan. Hujan sore di awal Februari itu membuat orang menggigil. Namun, cuaca yang tak bersahabat itu tak mengurangi minat peserta menyelesaikan administrasi pendaftaran pelatihan jurnalistik.
Mereka memenuhi ruangan sekertariat panitia Pelatihan Jurnalistik LDII News Network (LINES) Angkatan VI di area Pondok Pesantren Minhaajurrosyidin. Pelatihan yang menjadi program kerja tahunan Departemen Komunikasi, Informasi, dan Media (KIM) DPP LDII itu berlangsung selama tiga hari, 2-4 Februari 2024, di Gedung Grand Ballroom Minhaajurrosyidin. Dengan cekatan tim secretariat melayani pendafataran itu, “Peserta membludak, kami membuka pendafataran hanya untuk 100 orang, namun pendaftar mencapai 300-an orang,” ujar Ketua Panitia Faishal Muhammad Dzulfikar yang akrab disapa Ijul.
Ia mengatakan peserta berasal dari berbagai wilayah, meskipun prioritas peserta adalah warga LDII di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), “Tapi ada juga yang berasal dari daerah lain seperti Karawang, Bandung, Banjarnegara, Pemalang, Magelang, Yogyakarta, Madiun, Kediri, Nganjuk, Jombang, Sumenep, Denpasar hingga Polewali Mandar,” ungkap Ijul yang juga praktisi digital marketing. Usai memperoleh tanda peserta panitia dan jadwal cara, mereka diarahkan ke kamar peserta.
Sebulan sebelumnya panitia sudah mulai sibuk menyiapkan pelatihan jurnalistik itu. Meskipun sudah berpengalaman menggelar pelatihan serupa dengan peserta mencapai 100 orang di Pondok Pesantren Wali Barokah di Kediri dan Lampung, persiapan yang matang tetap menjadi kunci acara berlangsung mulus. Mulai dari membuat pemberitahuan di media sosial, membuat alur seleksi peserta, “Kami rapat hingga larut malam untuk menyiapkan pernak-pernik persiapan lainnya,” tutur Ijul.
Unggahan di media sosial mengenai ajakan pelatihan jurnalistik itu disambut antusias yang tinggi. Hanya dalam dua hari, peserta yang mendaftar membludak hingga mencapai 400-an orang. Padahal, batas yang ditetapkan panitia hanya 100 orang. Panitia mengambil langkah tegas, dengan terpaksa mereka menutup pendaftaran lebih cepat, “Kami khawatir pendaftar akan semakin banyak hingga merumitkan proses penyeleksian. Terdapat 462 pendaftar, kami saring dan seleksi mereka menjadi 160 orang yang mengikuti secara offline,” ujarnya.
Ia mengungkapkan pelatihan tersebut diharapkan dapat menambah kuantitas dan kualitas sumberdaya anggota LDII News Network (LINES). Kantor berita resmi LDII itu, mulanya hanya beranggotakan tujuh orang, lalu mengalami lompatan 10 tahun kemudian. Alat yang lebih lengkap dan tim mencapai puluhan orang, membuat produksi berita baik video, tulisan, dan media sosial melimpah.
Bahkan, kini LINES semakin digandrungi generasi muda yang ingin mencari wadah kreatif untuk berkarya sembari beramal saleh. “Semoga ke depannya kita tidak lagi membatasi berapapun jumlah peserta yang mendaftar. Semua bisa ikut pelatihan jurnalistik tanpa harus diseleksi,” harap Ijul.
Tepat pada pukul 20.00, para peserta pelatihan jurnalistik sudah mulai berkumpul. Mereka menempati kursi-kursi yang berderet memanjang memenuhi Ruang Musyawarah A Grand Ballroom Minhaajurrosyidiin. Suara mikropon mulai terdengar. Pelatihan jurnalistik itu dibuka dengan sambutan Ketua DPP LDII Bidang KIM, Rulli Kuswahyudi. Ia menjelaskan tugas pokok dan fungsi Departemen KIM dan kelompok kerja (Pokja) LINES.
Di hadapan para peserta yang didominasi oleh generasi muda, pria yang akrab disapa RK itu mengingatkan, generasi muda apalagi ‘kaum rebahan’ sudah saatnya mengambil andil beramal saleh. Terutama untuk membuat dan menyebarkan informasi mengenai kontribusi LDII dalam pembangunan dan program pemerintah. Ia berharap peserta bisa menyadari untuk tak merespon ujaran kebencian di media sosial, “Kita tak perlu berdebat di media sosial karena tak ada untungnya. Kita hanya perlu produksi yang menarik dan baik,” ungkap Rulli.
Ia melanjutkan, melalui media sosial, berbagai informasi membanjiri ruang publik. Arus informasi yang deras tanpa batas tersebut, ibarat pisau yang memiliki dua sisi yang berbeda. Pada satu sisi, media sosial dapat bersifat positif apabila dimanfaatkan secara benar. Namun di sisi lain pemanfaatan media sosial juga bisa berubah menjadi kontraproduktif, apabila ruang publik disesaki informasi yang mengandung hoax, informasi palsu (fake news) dan informasi keliru (falsenews).
Pesan-pesan seperti itu memiliki daya rusak yang tinggi, karena penyebarannya sangat cepat tanpa batas dan mampu membangkitkan emosi yang sangat kuat. Media sosial menjadi saluran yang sempurna untuk menyebarkan kebaikan ataupun kebencian, “Masyarakat bisa beropini atau menyuarakan pendapatnya dengan bebas. Maka kita harus meluruskan mana berita yang benar, bukan hanya untuk kepentingan LDII tapi juga untuk kepentingan masyarakat,” lanjut Rulli yang pernah menjadi wartawan stasiun televisi berita Liputan6 SCTV itu.
Di era post truth, menurut Rulli, kebenaran bukan sebatas ditentukan oleh fakta, tapi persepsi. Opini yang beredar, terkadang dianggap sebagai fakta yang dipercaya oleh publik. Masyarakat kerap kali dihadapkan pada situasi semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. Bahkan, pada era post truth masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran, dengan mengesampingkan fakta dan data informasi yang objektif.
“Kita harus hadapi post-truth atau kebenaran baru yang berasal dari hasil framing. Post truth adalah pergeseran sosial yang secara spesifik melibatkan media arus utama, dan para pembuat opini melalui media sosial,” tutur Rulli.
Ia mengatakan LDII sebagaimana ormas lainnya, kerap menjadi sasaran post truth, untuk itu perlu memberikan informasi kepada seluruh masyarakat, bahwa tidak semua yang disebarkan itu memang benar terjadi, “Kita perlu literasi digital agar bisa memilah dan memilih sesuatu yang benar dan memanfaatkan teknologi digital,” tegasnya.
Rulli menambahkan, melalui LINES meskipun dengan rebahan, generasi muda bisa berkontribusi dengan produksi konten dan berita positif. “Generasi LDII harus menjadi humasnya LDII. Dengan membekali generasi muda dengan pelatihan jurnalistik, mereka mampu mengedukasi warga LDII lainnya di daerah masing-masing,” ungkap Rulli.
Paparan Rulli, membuat peserta perlahan-lahan mulai memahami dan menyelaraskan tujuan mereka datang ke pelatihan tersebut. Salah satu Muhammad Taufik peserta asal Jakarta. Ia mengungkapkan, lewat pelatihan jurnalistik ternyata generasi muda bisa berkarya sekaligus beramal saleh, “Banyak ilmu jurnalistik yang didapatkan dan bisa memaknai menjadi ibadah hanya dengan membuat tulisan,” ucapnya.
Senada dengan Taufik, peserta lainnya Affan Huda Mukhlison mengungkapkan kesiapannya untuk berkontribusi menyebarluaskan kontribusi LDII dalam membangun karakter generasi muda, “Alhamdulillah dengan adanya pelatihan jurnalistik yang diadakan Departemen KIM DPP LDII, bisa semakin menambah ilmu dan pengalaman, serta bisa semakin membantu organisasi untuk menyebarluaskan kebaikan,” ungkap Affan.
Selama tiga hari melahap teori dan praktek, para peserta dengan tekun mengikuti kelas masing-masing. Panitia membagi mereka menjadi empat kelas, yang meliputi kelas jurnalistik online, jurnalistik televisi, media sosial, dan desain. Rulli berharap para peserta dapat memilih bidang sesuai minat dan bakatnya, “Sehingga mereka bisa beramal saleh memberitakan kontribusi positif LDII lewat karya yang mereka buat,” harap Rulli.
Rulli memiliki harapan besar terhadap pelatihan jurnalistik yang terus dihelat dari tahun ke tahun. Untuk mengubah generasi muda yang berjuluk kaum rebahan menjadi generasi kreatif. Agar mereka tak lagi dianggap pemalas, tapi generasi baru yang berkarya di atas tempat tidur sekalipun. (Fitri Utami/LINES)