Negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi hukum sebagai landasan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga apabila hukum tersebut bisa tegak dan tegas maka rakyat akan merasakan, terlindungi dan merasa aman dalam kehidupan sehari-harinya. akan tetapi sebelum hukum positif tersebut terbentuk karena kedaulatan Negara Republik Indonesia, kita mengenal yang namanya hukum adat, mengapa demikian karena secara geografis dan secara kultur, bangsa Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang secara otomatis akan mempunyai beragam adat dan budaya, sehingga dalam hal ini Negara Indonesia tetap mengharhagai hukum adat yang lazim dan tidak bertentangan dengan undang-undang atau hukum positif dalam menjalankan transaksi atau perbuatan hukum lainnya.
Pada kesempatan ini kami akan memberikan wawasan mengenai jual beli tanah yang dilakukan secara sederhana atau dibawa tangan. Pada prinsipnya Penguasaan dan pengaturan serta penyelenggaraan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan pemanfaatannya untuk kepentingan seluruh rakyat dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. adapun yang dimaksud dengan pengertian tanah secara hukum: Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang yang ada diatasnya.
Dalam artikel ini kami akan memberikan wawasan tentang jual beli tanah yang dilakukan secara sederhana atau lebih dikenal jual beli dibawah tangan, yang dimaksud jual beli dibawah tangan adalah jual beli yang dilakukan olek dua belah pihak yaitu Penjual dan Pembeli, didalam transaksi jual beli tersebut kedua belah pihak hanya mengadakan perjanjian dan kesepakatan yang sederhana mengenai obyek tanah yang akan dijual dan harga serta cara pembayarannya. nah apakah jual beli tanah semacam ini dapat dianggap sah secara hukum atau tidak.
Kita kupas permasalahan tersebut dengan menggunakan contoh kasus sebaga berikut:
Adalah seorang yang bernama Hery mempunyai sebidang tanah yang mempunyai luas 2000 M2 dan diatasnya berdiri sebuah bangunan rumah permanen seluas 1000 M2, yang tertuang dalam Sertifikat Hak Milik No. 345 atas nama Hery;
Sedangkan dalam bisnisnya Hery membutuhkan biaya yang cukup besar, maka dijual lah tanah yang dimilkinya tersebut kepada seorang Pembeli yang bernama Solikin, dengan harga yang telah disepakati yaitu sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyard rupiah);
Oleh karena Solikin tidak mempeunyai uang sebesar itu, maka cara pembyarannya disepakati dengan menggunakan cara angsuran, yaitu uang muka 50 % dan sisanya di angsur selama 1 (satu) tahun, maka kedua balah Pihak tersebut telah sepakat dan setuju walaupun jual beli tersebut tidak disaksikan oleh kepala desa atau prangkatnya, mereka tetap melaksanakan dengan rasa jujur dan saling percaya mempercayai antara Pihak Penjual dan Pembeli yaitu antara Hery dengan Solikin;
Dengan kesepakatan tersebut maka kedua belah pihak telah terikat dengan perjanjian dan merupakan hukum bagi Hery dan Solikin, maka Solikin membayar uang muka sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) pada tanggal 5 Januari 2012, dan diberikan kwitansi tanda terima pembayaran tersebut, adapun sisanya akan di angsur sesuai dengan kesepakatan selama 1(satu) tahun;
Pada tempo selanjutnya Solikin, telah membayar dua bulan angsuran masing-masing bulan setiap bulannya sebesar Rp. 50.000.000,- (limapiluh juta rupiah) dan telah diberikan kwitansi sebagai tanda terima oleh Hery;
Akan tetapi pada bulan ketiga Hery telah meminta kepada Solikin untuk melunasi jual beli tersebut dikarenakan Hery membutuhkan dana cepat, sehingga Solikin merasa keberatan dan tidak sanggup;
Karena saking butuhnya maka, Hery menawarkan tanah yang telah dijualnya tersebut kepada orang lain, mendengar hal tersebut maka Solikin, menggugat ke pengadilan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Hery tersebut;
Bahwa dari kasus di atas, jual beli tersebut adalah sah secara hukum walaupun dengan cara yang sangat sederhana atau di bawah tangan, sebab:
1. Bahwa dalam perjanjian jual beli cicilan/angsuran maka jual beli dianggap telah terjadi jika secara nyata telah ada cicilan/angsuran, dan dalam hal ini telah dilakukan 2 (dua) kali angsuran, bahkan telah ada kesepakatan pelunasan, namun kemudian ditolak oleh Penjual, masalah ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 April 1973 No.123/Sip/ 1973 yang menyatakan : “jual beli tanah menurut kq hukum adat, tidak dapatnya pembeli melunasi sisa harga pada waktu yang dijanjikan, tidak dapat dijadikan alasan untuk pembatalan jual beli, yang dapat menuntut sisa uang tersebut;
2. Bahwa walaupun dalam melaksanakan transaksi jual beli tersebut tidak dilakukan dihadapan Kepala Desa ataupun perangkat Desa, maka perbuatan hukum yang dilakukan oleh Para Pihak adalah sah dan mengikat bagi pembuatnya, hal ini dilandasi oleh Putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Desember 1958 Reg. No. 4K/Sip/1958 yang menyebutkan: “ikut sertanya Kepala Desa bukan syarat sahnya jual beli”.
3. Bahwa pengertian “tunai” atau “kontan” dalam Hukum Adat, bukan dalam arti “dibayar lunas”. Tunai menurut Hukum Adat, bahwa suatu perbuatan hukum telah selesai dengan suatu tindakan konkrit tertentu. Salah satu bentuk tindakan konkrit yang lazim adalah panjer atau uang muka, atau voorschot;
4. Bahwa dalam kasus ini niat baik dari Solikin sebagai pembeli yang beritikad baik harus dilindungi oleh undang-undang, dan pada sisi lain Penjual dalam hal ini adalah Hery yang beritikad tidak baik dapat dijadikan bukti sebagai telah melakukan perbuatan wanprestasi;
Dengan demikian. hukum akan tetap melindungi Masyarakat. dalam melakukan perbuatan hukum jual beli tanah walaupun cara yang dilakukan tersebut sangat sederhana dan mudah, sehingga bagi masyarakat yang telah melakukan atau pernah melakukan transaksi jual beli tanah pada masa lalu yang masih belum bisa memenuhi syarat dan prosedur perundangan yang berlaku di Negara kita, tidak perlu takut dan hak-hak nya masih tetap melekat padanya.