(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan seasungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS Al Baqarah (2): 197).
SALAH satu bentuk kasih sayang dan karunia Allah SWT terhadap para hamba-Nya adalah dijadikan bagi mereka musim-musim kebaikan guna meningkatkan kesempurnaan kemanusiaannya serta meraih derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. Setelah Ramadhan, kita memasuki musim kebaikan yang lain, yaitu musim haji. Di dalam musim ini ada sepuluh hari pertama Dzulhijjah yang merupakan hari-hari sangat mulia sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
“Tidak ada hari di mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari (Dzhulhijjah) ini. Lalu para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, tidak tertandingi oleh jihad fi sabilillah sekalipun? Beliau menjawab, (Ya), tidak tertandingi oleh jihad fi sabilillah sekalipun, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa raga dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan apa pun (yakni mati syahid).” HR Bukhari.
Orang yang dipilih Allah SWT dari ratusan juta kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji adalah orang yang sangat beruntung. Beragam keistimewaan dan keutamaan yang berpuncak pada surga yang menantinya jika ia meraih haji mabrur. Namun, ujian dan cobaan yang mengotori kemabruran hajinya juga tidak sedikit. Dari sekian banyak ujian, ada 3 (tiga) hal yang disebut dalam ayat di atas yang perlu senantiasa diwaspadai oleh jama ah haji, yaitu rafats, fusuq dan jidal.
Sesungguhnya kemunkaran dan hal-hal negatif selama musim haji di tanah suci cukup banyak. Sehingga tidak benar, persepsi sebagian orang bahwa Tanah Suci sepi dari kemaksiatan dan kemunkaran. Ketika Al Quran hanya menyebut tiga hal negatif tersebut, hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwasanya peluang untuk melakukan ketiga perbuatan negatif itu dalam muktamar yang dihadiri jutaan kaum muslimin sedunia dengan beragam warna kulit, bentuk fisik, suku, ras, bahasa dan adat amatlah besar. Sehingga tidak berlebihan jika ada yang berkomentar, bahwa setiap jamaah haji berpotensi untuk berbuat rafats, fusuq dan jidal, baik pra haji, di tengah penunaian berbagai manasik (ritual) haji maupun pasca haji, menjelang kepulangannya ke tanah air misalnya.
Ibnu Jarir dalam kitab Tafsirnya (II/273-279) secara panjang lebar menghadirkan penafsiran para ulama tentang rafats yang dapat disimpulkan, bahwa rafats adalah jima (bersetubuh) dan permulaan-permulaannya seperti bercumbu serta perkataan yang menimbulkan birahi. Lalu fusuq adalah semua bentuk maksiat dan larangan-larangan bagi orang yang berihram. Sedangkan jidal adalah berbantah-bantahan, saling panggil memanggil dengan gelar yang buruk dan debat kusir seperti saling mengklaim bahwa apa yang dilakukan paling baik/benar dan semua perbuatan yang memicu konflik, kedengkian dan permusuhan.
Ketiga hal ini diberi penekanan khusus untuk dijauhi, karena Allah SWT menginginkan jamaah haji untuk melepaskan diri dari segala gemerlap dunia dan tipu dayanya, serta mensucikan diri dari segala dosa dan keburukan. Sehingga terwujudlah tujuan yang diinginkan dari ibadah haji yaitu Tahdzib An Nafs (pensucian jiwa) dan mengarahkannya secara total untuk beribadah kepada Allah SWT semata. Dan hanya jamaah haji yang mampu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan negatif tersebutlah yang diibaratkan Nabi SAW seperti bayi yang baru lahir ke dunia tanpa dosa.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji, tidak rafats dan berbuat fasik, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti hari di saat ia dilahirkan ibunya.” (HR Bukhari dan Muslim) Setelah melarang berbuat keburukan, Allah SWT membangkitkan semangat mereka untuk melakukan kebaikan seraya berfirman, “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” Dilihat dan diketahui Allah merupakan penghargaan dan balasan dari Allah sebelum balasan yang sesungguhnya. Sehingga memotivasi seorang mukmin untuk semakin banyak memproduksi berbagai macam kebaikan.
Kunci menjaga haji mabrur
Prof Dr H Muslich Shabir MA, Dosen IAIN Walisongo Semarang, mengatakan haji mabrur merupakan haji yang dilaksanakan dengan niat karena Allah semata, dengan biaya yang halal dan mengerjakan segala ketentuan berhaji dengan sempurna. Haji itu tidak dicampuri pula dengan perbuatan dosa, sunyi dari riya’ dan tidak dinodai dengan kata-kata kotor (rafats), perbuatan yang melanggar aturan (fusuq) dan tidak berbantah-bantahan (jidal).
Kebalikan haji mabrur adalah haji mardud, yakni haji yang dibiayai dengan dana tidak halal dan yang biasa dimakan juga dari hasil yang haram. Ketika orang yang seperti itu mengucapkan talbiyah, Allah menjawabnya: ”Tidak ada labbaik dan tidak ada keberuntungan atasmu karena apa yang kamu makan dan apa yang kamu pakai itu haram sedangkan hajimu mardud (ditolak)”.
Haji mabrur merupakan hasil maksimal yang didambakan oleh setiap jama’ah haji karena haji yang seperti itu menjamin pelakunya untuk masuk surga. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dinyatakan bahwa haji mabrur itu tidak ada balasan lain kecuali surga, dan kemabruran haji itu ditandai dengan memberikan makan dan menyebarkan kedamaian.
Namun dalam kenyataannya, untuk memastikan apakah haji seseorang itu mabrur, sangatlah sulit. Belum tentu jamaah haji yang sudah melaksanakan rukun-rukun haji bahkan dengan sempurna, hajinya itu akan mabrur. Haji bukan hanya berkaitan dengan penyempurnaan rukun-rukunnya saja. Kemabruran haji juga dinilai dari pra pelaksanaan, seperti niat melaksanakan ibadah haji, serta lebih penting lagi paska pelaksanaan ibadah haji. Oleh karena itu, melestarikan kemabruran ibadah haji menjadi hal yang sangat penting yang mesti diperhatikan jamaah haji setelah kepulangannya dari Tanah Suci. Secara umum, kemabruran ibadah haji seseorang ditunjukkan melalui perubahan sikap, mental, dan perilaku seseorang hingga menjadi lebih baik dari sebelum melaksanakan ibadah haji dan meningkatnya kualitas ibadah. Seseorang haji yang kembali dari tanah haram, dia akan memulai hidupnya dengan lembaran baru, menapak jalan yang kokoh dalam beribadah, dalam pergaulan dan dalam berakhlak. Maka dia menjadi orang yang tampil beda dengan sikap jujur dalam kerjasama, banyak melakukan kebaikan, mencurahkan amar makruf dan hatinya bersih. Setiap tahunnya, jutaan orang diasah kembali kesadaran dan ingatannya akan kebesaran dan keagungan Sang Khaliq. Mestinya, setiap tahun, jutaan orang di dunia ini menjadi lebih baik perangai sosial, akhlak, dan moralitasnya. Namun kenyataannya di lapangan berkata lain. Kita patut prihatin jika melihat banyak muslim bergelar haji yang tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya, seperti para artis, pejabat, ataupun politisi.
Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan, ”apa yang harus dilakukan seseorang sekembalinya dari ibadah haji?” adalah menjaga dan memelihara kemabruran haji dengan mengupayakan peningkatan kualitas keberagamaan, dalam tataran iman, ibadah, amal saleh, maupun akhlak. Kemabruran haji yang telah diperoleh oleh setiap jamaah harus selalu dijaga supaya ia benar-benar bisa mencapai husnul khatimah ketika sakaratul maut. Dengan demikian, dia akan selalu meninggalkan akhlak yang tercela. Ditinggalkannya semua perbuatan yang menyimpang dari hukum Allah maupun hukum negara. Dia jauhi semua yang haram bahkan yang syubhat sekali pun.
Apabila dia seorang pedagang maka dia akan berdagang secara jujur. Apabila dia seorang pejabat, maka dia akan menjalankan amanah itu dengan sebaik-baiknya dan menjauhi perbuatan korupsi sekecil apa pun; begitu seterusnya. Untuk menjaga kemabruran haji dalam hal ubudiyah, dapat diaktualisasikan melalui beberapa tahapan, baik ubudiyah yang bersifat mahdhoh (ibadah murni) atau ghairu mahdhoh (ibadah yang tidak murni). Indikasi kemabruran haji dalam hal ubudiyah yaitu adanya peningkatan ibadah dan nampak pada kepribadian seseorang yang berhaji. Bila selama di tanah suci begitu semangat melaksanakan shalat jamaah di masjid, bahkan hampir tidak ada shalat yang tidak dilaksanakan dengan berjamaah, maka sekembalinya dari tanah suci, kebiasaan yang baik itu perlu dilanjutkan. Selain itu, shalat wajib lima waktu akan selalu dilaksanakan tepat pada waktunya dan diusahakan dapat shalat berjamaah di masjid, bahkan ditambah dengan shalat-shalat sunnah.
Ringkasnya, orang yang menyandang predikat haji mabrur akan memulai hidupnya dengan lembaran baru sepulangnya dari Tanah Suci. Sehingga, akan sangat terasa manfaatnya bagi keluarga dan masyarakat. Keluarga akan menjadi lebih damai, teduh, dan bahagia. Masyarakat secara keseluruhan pun akan menjadi masyarakat madani yang selalu sadar terhadap kebesaran Allah SWT. Bagaimana dengan Anda? //**