Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Terkadang saya menyadari satu hal tentang diri sendiri: saya terlalu sering memperhatikan hal-hal kecil. Hal-hal yang mungkin tak dianggap penting oleh kebanyakan orang. Kadang saya pikir, mungkin ini karena saya memang pribadi yang kecil—atau kerdil, entahlah. Mental plentis atau mencari perhatian. Semoga tidak dan tetap karena Allah. Terlalu banyak bertanya, terlalu sering merasa ada yang tak pas. Ada semacam harapan dalam hati agar segalanya jelas, presisi, bisa dipertanggungjawabkan. Tapi justru karena itu, saya sering kerepotan sendiri. Sibuk mencari-cari jawaban, tak tenang sebelum menemukannya—meski kadang, itu hanya soal sepele.
Dan tanpa sadar, ini yang tidak baik, saya pun jadi merepotkan orang lain dengan kegelisahan yang saya produksi sendiri. Padahal, jika saja saya bisa lebih banyak belajar untuk menerima, untuk diam, mungkin hati akan lebih damai. Mungkin urusan itu sudah selesai sejak awal—tak perlu dicari, tak perlu diulik, cukup diterima saja. Tapi ya begitulah, hati ini kadang terlalu ingin tahu, terlalu ingin memahami, bahkan terhadap hal-hal yang mungkin sebenarnya cukup untuk dilepas saja.
Contoh kasus, seperti doa indah dari riwayat ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو، مَوْلَى الْمُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لأَبِي طَلْحَةَ ” الْتَمِسْ لَنَا غُلاَمًا مِنْ غِلْمَانِكُمْ يَخْدُمُنِي ”. فَخَرَجَ بِي أَبُو طَلْحَةَ يُرْدِفُنِي وَرَاءَهُ، فَكُنْتُ أَخْدُمُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كُلَّمَا نَزَلَ، فَكُنْتُ أَسْمَعُهُ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ ” اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ، وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
Dari ‘Amr bin Abi ‘Amr, maula (bekas budak yang dimerdekakan) dari Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab, bahwa ia mendengar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda kepada Abu Thalhah: ‘Carikan untuk kami seorang anak laki-laki dari anak-anak kalian untuk melayani aku.’ Maka Abu Thalhah membawaku, mendudukkanku di belakangnya (di atas tunggangannya), lalu aku pun melayani Rasulullah ﷺ setiap kali beliau turun (dari kendaraan atau berhenti di suatu tempat). Sering sekali aku mendengarnya mengucapkan doa ini:” Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa susah (besar/cemas) dan susah (kecil/sedih), dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat kikir dan pengecut, dari beratnya beban utang, dan dari dominasi orang lain.” (HR Al-Bukhari)
Kata hammi dan hazan —yang dalam bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan sebagai ‘susah’—membuat saya bertanya. Kalau artinya sama, mengapa dalam doa ini disebutkan dua kata berbeda? Saya pun bertanya pada guru-guru dan ahli ilmu. Jawaban pertama yang saya terima adalah bahwa al-hammi adalah ‘susah besar’, dan al-hazan adalah ‘susah kecil’. Penjelasan ini sempat saya terima… sampai saya teringat tentang peristiwa ‘Ammul Huzni’ —Tahun Kesedihan/Kesusahan. Situasi ini terjadi pada tahun ke-10 dari kenabian (sekitar tahun 619 M).
Tahun itu adalah tahun di mana Rasulullah ﷺ kehilangan dua orang yang paling beliau cintai dan andalkan: Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri tercinta yang setia menemani sejak awal perjuangan, dan Abu Thalib, paman beliau yang selama ini menjadi pelindung utama dari gangguan kaum Quraisy. Kehilangan dua orang ini sekaligus sungguh mengguncang. Jika itu bukan ‘susah besar’, lalu apa?
Pertanyaan saya makin menjadi. Mengapa disebut Ammul Huzni, bukan Ammul Hammi? Saya pun kembali bertanya, dan jawaban lain yang saya dapatkan—yang lebih membingungkan—adalah: “Kalau begitu, kita tukar saja: hammi menjadi susah kecil, dan hazan jadi susah besar.” Saya hanya bisa tersenyum getir. Karena logika tak bisa asal dibolak-balik begitu saja. Tapi apa boleh buat.
Lelah, saya memilih diam sejenak. Menerima saja dulu, sampai satu hari nanti—semoga—Allah berkenan membuka pemahaman. Lama kemudian, saya mendapat jawaban yang berbeda. Menurut salah satu guru, al-hammi adalah kesusahan karena urusan akhirat, sedangkan al-hazan karena urusan dunia. Lumayan mencerahkan, akan tetapi dahaga belum semua terpuaskan. Ingin lebih lagi, namun tetap terkendali dan bersabar.
Sampai akhirnya, saya mendengar penjelasan yang membuat saya benar-benar mengangguk dalam hati. Seorang guru menyampaikan dengan santun bahwa:
Al-hammi adalah kesusahan karena cita-cita yang belum tercapai. Susah karena masa depan atau sesuatu yang ditakutkan yang belum terjadi. Sebagai pembanding pemahaman kiranya bisa merujuk redaksi hadits berikut ini.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ، جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ”
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang akhirat menjadi cita-citanya, maka Allah akan menjadikan kekayaan dalam hatinya, mengatur urusannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa yang dunia menjadi cita-citanya, maka Allah akan menjadikan kefakiran di depan matanya, mencerai-beraikan urusannya, dan dia tidak akan mendapatkan dunia kecuali apa yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Al-hazan adalah kesusahan karena cita-cita yang tercapai, tapi tidak seperti yang diharapkan. Susah karena masa lalu atau sesuatu yang sudah terjadi. Sebagai padanan redaksi bisa merujuk ayat ini.
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَۗ اِنَّ رَبَّنَا لَغَفُوْرٌ شَكُوْرٌۙ
“Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS Fathir:34)
Dan saat itulah semuanya terasa masuk akal. Dalam konteks Ammul Huzni, cita-cita Rasulullah ﷺ untuk terus bersama Khadijah dan Abu Thalib dalam perjuangan memang tercapai. Tapi harapan untuk kebersamaan yang panjang ternyata dipatahkan oleh maut. Harapan itu kandas bukan karena gagal, tapi karena terbatas. Maka pantaslah disebut sebagai huzn, bukan hamm.
Dari sini saya belajar, bahwa rasa ingin tahu yang dulu dianggap rewel atau kepo, ternyata bisa menjadi jembatan menuju pemahaman. Jika dikelola dan dipupuk dengan baik, sabar dan penuh tawakal. Tanpa sedikit pun niat buruk dan setitik kesombongan di sana. Bahkan bisa melahirkan pemahaman yang bisa membuat doa yang sederhana menjadi begitu dalam dan bermakna.
Ini adalah doa yang tak pernah absen saya baca selepas shalat. Ia menjadi semacam pelindung halus yang memeluk hati dari kegelisahan. Ia menjadi pengingat bahwa kehidupan tak hanya tentang pencapaian, tapi juga penerimaan.
Doa ini bukan sekadar permintaan, tapi panggilan—untuk diam, untuk tenang, untuk berusaha memahami, dan akhirnya bertindak dengan penuh keyakinan dan harapan.
Kini, setiap kali saya melafalkan doa ini, saya tak hanya mengulang kata-kata. Saya menghayati makna. Saya mengingat jalan panjang menuju pemahaman itu. Dan saya bersyukur… atas “kerewelan” yang ternyata membawa berkah tersembunyi. Dan, atas izin Allah, sekarang tidak mempermasalahkan lagi antara hammi dan hazan. Karena larut dalam doa, yang sesungguhnya.