oleh: Faizunal Abdillah
Setelah mendapati diri dalam hidayah Allah dan hidup bergelimang kesyukuran, tak ada lagi yang perlu diragukan, kecuali hanya kebodohan diri dan kedholiman. Sebab Innahuu kaana dholuuman jahuulan – (QS al-Ahzaab: 72). Sesungguhnya manusia itu ada dalam kedholiman dan kebodohan.
Kadang sifat bodoh mengalir begitu saja tanpa terasa. Kadang kedholiman – aniaya diri – terjadi tanpa disengaja. Tahu – tahu sudah jauh dari arus kebenaran. Dan ketika sadar, mau balik, malah berteriak; Apa salah saya? Memang begitulah kehidupan bergeming, sehingga tercipta kata pepatah: gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi kuman di seberang lautan tampak. Ketika kepergok dan diingatkan tidak terima, malah balik menghardik, alih – alih membela diri. Padahal dalam hati kecilnya mengakui bahwa dirinya memang berbuat kesalahan. Sayang, keberanian mengakui kesalahan itu terlampau kecil untuk tampak di mata anak adam.
Namun dalam scenario kehidupan yang sejati, pelaku kehidupan ini harus tunduk dan patuh dengan patron dan hukumNya, bagaimana pun riuh – rendahnya kehidupan ini berjalan. Orang pantas berbuat salah, malah kadang ditandai dengan pelanggaran. Orang juga pantas menerima perlakuan yang baik ketika sedang berbuat salah, sehingga bisa kembali ke jalan yang benar dengan padang. Tak jarang orang ramai – ramai menghujat, lupa ada hak diperlakukan baik buatnya. Pun orang berbuat kebaikan, walau kecil sekali bobotnya, seberat dzarroh, Allah pun mengajarkan untuk mengapresiasinya. Tapi, banyak mata anak manusia ini tertutup, hingga tak bisa melihatnya.
Begitu juga dalam arena saling menasehati. Lebih banyak mata memandang siapa yang menyampaikan, sehingga lupa dengan petuah lihatlah apa yang disampaikan. Undhur maa qiila walaa tandhur man qoola. Banyak orang yang menelanjangi orang lain, sebelum menelanjangi diri sendiri. Hanya untuk sebuah kepuasan; Emang dia sudah melaksanakan? Enteng sekali menunjuk hidung orang lain dengan satu jari, lupa bahwa 3 jari yang lain mengarah kepada dirinya sendiri. Dan itu yang sering kali menutup hati. Gak bisa menerima nasehat dan kalimat thoyyibah yang lain.
Seharusnya, ketika menerima kalimat hikmah, jadikanlah itu sebagai jamu – obat untuk mengobati luka hati ini. Jika orang itu sehat, maka akan semakin kuat – afiat, berseri lagi makmur. Jika sakit, maka akan menjadikannya sembuh total. Karena kesembuhan dan kesehatan itu akan lebih berarti. Dengan kesehatan dan kesembuhan orang bisa beraktifitas lebih dan lebih, melakukan apa saja yang baik-baik, bahkan kepada hal yang buruk pun.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini diri ini sungguh – sungguh berpesan jadikanlah ini sebagai semangat pembaharuan. Jangan pernah menoleh lagi ke belakang dengan mencari sisi hitam, tetapi tataplah ke depan dengan penuh semangat kebersamaan, fastabiqul khoirot untuk meraih keberkahan dan kemuliaan di dunia dan akhirat, seiring kalamNya – walaa tahinuu walaa tahzanuu wa antum a’launa inkuntum mu’miniin – (QS Ali Imron:139). Dengannya kita benar – benar ingin memperoleh kemuliaan yang sempurna. Cukup bagi pemberi nasehat ayat – kaburo maqtan ‘indallaahi antaquuluu ma laa taf’aluun – (QS as-Shof:2). Kalau “Jarkoni” tentu dia sendiri yang akan merugi di akhir nanti.
Mumpung masih di awal tahun, semangat baru, resolusi baru, ayo kuatkan niat, mencari jalan kesungguhan, menuju kebaikan dengan semangat kebersamaan meraih kesempurnaan dengan jalan: Bangun Malam. Sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya. Dari Abdullah bin Abi Qois, dia berkata, Aisyah berkata; “Jangan tinggalkan qiyamul lail, karena sesungguhnya Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya, ketika beliau sakit atau jenuh beliau sholat dengan duduk”. Allohumma amdhii…Semoga Allah memberkati. Amin.
SAPMB AJKH