oleh: Siham Afatta
Air sebagai pemberian dari Alloh menjadi salah satu perantara kelulus-hidupan seorang manusia. Air merupakan zat alam kedua, setelah udara, yang kerap kita manfaat kan dalam mengawali hari kita. Baik itu untuk minum, masak, wudhu, mandi, mencuci pakaian, memelihara hewan dan tanaman, dan lainnya.
Di dalam Al-quran lafadz yang bermakna elemen air disebutkan sebanyak 32 kali, menjadi penegas peranannya air sebagai rizqi dari Alloh. Seperti udara, air memiliki manfaat seakan tak menghabis, mengkerdilkan peranan sumber daya alam lainnya. Bahkan ketika hujan membawa ketidak nyamanan bagi kita, Rasulullah SAW memanjatkan doa agar hujan dipindahkan, tapi tidak untuk dihilangkan.
Namun, segala keutamaan air bisa sirna. Cukup dengan satu syarat – ketika air menjadi kotor.
***
Di bangku Sekolah Dasar, kita dapati pemahaman bahwa air termasuk benda yang dapat diperbarui. Namun kenyataanya, kepadatan manusia yang tinggi terus memanfaatkan dan sekaligus mencemar air bersih, dengan kecepatan yang melebihi kemampuan sistem hidrologi alam untuk membersihkanya kembali. Sebuah teguran bagi kita: apakah kita sudah andil memperbarui atau belum?
Manusia tidak bisa memproduksi air, kita hanya bisa memindahkannya dan membuatnya murni atau tercemar. Di bumi, Alloh menuangkan ±70% permukaanya dengan air. Bahkan dalam tubuh manusia-pun, rata-rata 65% -nya terdiri atas air. Alloh juga menciptakan fenomena hujan untuk mengatur persebaran air secara alami di daratan manusia berpijak.
Kawasan Indonesia dikaruniai potensi hujan yang besar yaitu 1000-4000 mm/tahun. Jika dipukul rata maka ada hujan 2 – 22 mm tiap harinya. Namun hujan tidak turun setiap hari. Selain itu, setiap kawasan rentang waktu musim hujan tidak tetap setiap tahun-nya dan berbeda untuk tiap kawasan.
Meskipun demikian, berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air sejak tahun 1995 dengan defisit air terus terjadi setiap tahunnya selama tujuh bulan. Lebih banyak masa kekeringan ketimbang ‘kebasahan’. Dari tahun-ke-tahun hingga 2012semakin kerap terdengar berita yang melansir kekurangan air bersih dan kekeringan. Apakah alasan dibalik ujian ini?
Bercermin pada perkotaan Indonesia, ternyata kemajuan teknologi kita dan perputaran perekonomian masyarakat yang cepat bukan jadi jaminan pengelolaan air bersih oleh manusia. Sadar atau tidak, air bersih sekarang sudah merupakan komoditi yang “langka” dan relatif mahal – khususnya di perkotaan.
Menengok pada Ibu Kota Jakarta, maka didapati sekitar 20% dari penduduknya belum memiliki kakus. Ini berarti kurang lebih kotoran dari dua juta manusia setiap harinya langsung di lepas dalam resapan tanan, aliran kali, sungai serta pesisir. Demikian soal sampah, berat limbah padat yang mencemari dalam sistem air tanah dan sungai Jakarta diperkirakan setara dengan beban 140 gajah (kalikan ±6 ton) – setiap hari. Belum lagi sekitar 400.000 liter limbah cair yang di’-tuang’ ke dalam sistem kali dan sungai Ibu Kota – setiap hari.
Terima atau tidak, ketidaksyukuran yang sistematis ini membawa petaka yang dihadapi bersama. Berdasarkan pengamatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLDH) 60% air bersih di Jakarta sudah tidak layak minum serta 13 aliran sungai besar di Jakarta berstatus tercemar berat. Tingginya eskploitasi air tanah di Jakarta juga sebabkan hilangnya air dari bebatuan purba, bukan dari resapan air. Air tanah yang diambil bukan lagi hasil serapan. Pembangunan hunian baru-pun bukan berarti menyesuaikan, menurut BPLDH 50% hunian apartemen Jakarta yang tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah.
Proses pemanfaatan air yang ternyata memberikan umpan balik negatif pada lingkungan tidak membuat sistem sosial kita berhenti, dan mengevaluasi. Tidak ada pengawasan kuat membuat pengeboran bor artesis seakan liar, baik kebutuhan rumah pribadi hingga gedung. Ditambah dengan beban banguna yang memadati Jakarta, hal tersebuttelah akibatkan penurunan permukaan tanahJakarta di beberapa tempat hingga secepat 25 cm pertahun. Hasil penelitian konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy di tahun 2010 sebutkan sekitar 40% wilayah Jakarta berada di permukaan Laut. Tidak hanya Jakarta, intrusi air laut ke dalam deposit air tanah kini sudah lazim terjadi di kota besar pesisir.
Sementara cadangan air tanah terus disedot, di permukaan kita kembalikan sebagai air kotor ’segar’, langsung masuk ke tanah dan badan air (rawa, danau, kali sungai, muara).
Kelengahan kita mengelola air membawa konsekuensi finansial. Air bersih di Jakarta termasuk yang termahal di dunia. Tarif air yang besar harus ditanggung sekarie separuh penduduk jakarta yang bisa menikmati fasilitas penyaluran air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Separuh lainya ‘berebutan’ memanfaatkan air tanah melalui pengeboran sumur-sumur, itupun jika beruntung cadangan air tanah masih ada dan layak minum. Alternatif lainnya adalah membeli air jerigen eceran – dengar harga-nya berlipat-lipat kali lebih mahal dari PDAM – yang tidak luput menjadi beban ekonomi tambahan khususnya pada masyarakat miskin.
Tidak hanya Jakarta saja, berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum, sekitar 100 juta jiwa penduduk Indonesia alami kesulitan air bersih. Ini tidak menutup kemungkinan saya atau Anda menjadi bagian dari 70% penduduk Indonesia yang masih mengkonsumsi air yang terkontaminasi. Keadaan ini tidak pandang kawasanperkotaan atau di pedesaan. Di Pulau Jawa sendiri, dimana 65% penduduk Indonesia terkonsentrasi, kini hanya 4.5% yang bisa menikmati air bersih.
***
Air Bersih
Setiap hari kita menggunakan air, namun permulaan kisah perjalanan air yang kita tahu hanya sebatas dari keran di tempat tinggal kita. Penulis-pun belum pernah melihat sumberan atau mata air secara langsung. Tapi kenyataanya, kini mata air yang titik awal kemunculan air di hulu, semakin menyusut jumlah sumberannya akibat aktifitas penebangan hutan besar-besaran, khususnya hutan resapan. Sebab ini, hemat penggunaan benda berbahan dasar kayu, kertas dan tissue juga bagian dari pelestarian air bersih
Dengan ironi air saat ini, akankah membuat kita lebih bijak mengelola air? Ataukah terus berlomba-lomba mengambil yang tersisa. Sejauh apa kesadaran kita mau bertanggung-jawab pada alam?
Terpentingnya: Sebarapa besar kesungguhan kita untuk menyisakan air bersih untuk Generasi Penerus?
Toh, bagi yang di-qodar Alloh dengan keuangan cukup, air bersih bisa dibeli. Namun kebiasaaan ini membuat sebuah ilusi: selama ada uang ada maka ada air bersih. ‘Ada’dari dalam kemasan plastik, jerigen eceran, dari truk tangki, pipa PDAM, atau bayar listrik untuk menjalankan pompa dan penyaluran oleh pipa dari sumur. Namun semua bisa jadi sesaat masa hidup kini saja. Andaikan kita warisi Generasi Penerus kita memiliki uang, air bersih yang bisa ‘dibeli’ belum tentu tersedia sebanyak sekarang.
Bicara konsumerisme, kita perlu ingat bahwa harga yang kita bayar hanyalah sebatas ongkos jasa untuk memindahkan (mengemas, menyalurkan atau mengangkut) air bersih/minum. Kita BELUM membayar harga pada alam sebagai ongkos ‘memurnikan’ air. Bahkan, lagi-lagi, justru alam kita beri imbalan dengan sampah dan air kotor.
Krisis air tidak datang seketika, tapi merupakan dampak kolaborasi aktifitas manusia. Demikian juga solusinya tergantung bagaimana kita serentak dan rutin memberi kesempatan alam untuk pulihkan air.
Pertama: Mari kita budayakan penggunaan air yang baik
Kita sudah tahu air bersih semakin sedikit. Tidak sedikit juga di antara kita yang sulit mendapatkanya sulit. Maka pastikan kita mulai irit’.
Awalan yang mudah adalah: mulailah membuka keran air secukupnya. Saat membilas sesuatu, gunakan tangan untuk meratakan air, ketimbang dengan menambah bukaan untuk keran untuk perkuat aliran air. Lalu saat kita menyabuni, baik perabot, maupun anggota tubuh kita, pastikan keran ditutup. Buka kembali secukupnyasaat membilas. Pastikan gunakan air untuk membersihkan, jika sesuatu memang benar-benar kotor, hindari kegiatan ‘cuci’ latah – dimana mencuci sesuatu bukan karena kotor, namun karena kebutuhan psikologis.
Sekilas, hal ini terdengar ‘ekstrim’. Namun, kini di zaman dimana kebaikan itu hal yang janggal bukan? Ekstrim yang positif yang membawa dampak positif bagi anak cucu kita. ‘Ekstrim’ saat ini menjadi ‘es krim’di masa depan.
Bahkan memulai sholat-pun Nabi menajari untuk menghindari pemborosan air. Ingat, Rasulullah SAW pernah berwudhu dengan satu mud (air), yang setara sepertiga liter Damaskus, dan beliau pernah mandi dengan satu sha’(air), seukuran dengan satu sepertiga liter. (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Anas). Pastikan kita tidak membuka keran penuh saat wudhu.
Soal mandi, manakah yang lebih hemat air? Bak dengan gayung atau pancuran? Apapun gaya mandi anda, nomor satu, pastikan kurangi waktu mandi anda.Gunakan ukuran gayung yang kecil, atau batasi air yang keluar dari pancuran. Namun pada dasarnya, dibanding gayung, pancuran lebih mudah mengendalikan jumlah airnya melalui keran.
Di tahun 2006, Departemen Pekerjaan Umum mensurvei bahwa setiap orang di perkotaan rata-rata menggunakan air sebanyak 144 liter perharinya. Sekitar 45% atau 60 liter digunakan untuk mandi per orang per hari. Ini belum bicara me’mandi’kan kendaraan pribadi kita.Pada kesempatan berikutnya, tantang diri anda untuk mencuci mobil atau motor hanya dengan 2 hingga 4 ember saja. Bisakah? Bisa!.
Kedua: Mari kita men-daur-ulang air
Bantu tanah menyerap air kembali dengan membuat lubang biopori. Biopori membantu memaksimalkan kembali kemampuan tanah menambah volume air tanah. Biopori bukan sebuah saran, namun sebuah kewajiban.
Kemudian, jika memungkinkan, pastikan ada sumur resapan terdapat di rumah tinggal anda. Membuat sumur resapan membutuhkan biaya lebih besar dari lubang resapan biopori. Namun lebih efektif dalam menyerapkan hujan kembali ke dalam tanah
Kembali soal tanggung-jawab, pembuatan biopori dan sumur resapan merupakan usaha kita menggantikan ruang resapan air di alam yang ‘tergusur’ akibat bangunan yang kita dirikan.
Pengertian dari lubang Biopori adalah sebuah lubang dengan diameter 10 sampai 30 cm dengan panjang 30 sampai 100 cm yang ditutupi oleh sampah organik yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir disekitarnya, sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah, tumbuhan disekitarnya serta dapat juga membantu pelapukan sampah organic menjadi kompos yang bisa dipakai untuk pupuk bagi tumbuh-tumbuhan (http://organisasi.org)
Sedangka sumur resapan adalah bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan meresapkannya ke dalam tanah (http://bebasbanjir2025.wordpress.com).
Ketiga: Mari kita gunakan sumber daya air lebih efektif
Saat musim hujan, masyarakat perkotaan, seperti di Jakarta misalnya, kerap mengkonotasikan hujan dengan banjir. Potensi hujan sebagai sumber daya air seakan terlupakan.
Padahal pengumpulan air hujan di Indonesia sudah lama menjadi strategi konservasi air masyarakat pedesaan dan transmigran – terutama penduduk yang menghuni jauh dari aliran sungai.
Rainwater harvesting (RWH), atau ‘panen hujan’ adalah proses menampung air hujan dan air ini digunakan kembali untuk berbagai kepentingan, misalnya keperluan irigasi (taman dan kawasan hijau), mencuci, bilasan toilet, hingga bisa juga untuk diminum (setelah diproses sehingga kualitasnya memenuhi standar air minum) (M. Citraningrum).
Di kota besar di Korea, sistem RWH lazim digunakan untuk keperluan irigasi (menyirami tanaman), serta membilas toilet. Untuk keperluan mencuci dan minum, juga bisa, namun membutuhkan proses analisa, filtering, dan sterilisasi lebih lanjut. Professor Mooyoung Han, seorang pakar RWH, saat mengunjungi Aceh pasca-tsunami, sempat mendisain sistem penampungan air ujan semurah Rp. 500.000,- saja. Bagi kita yang sedang dilanda kesulitan akses air, strategi rendah biaya semacam ini berharga sekali.
Demikian juga Jepang, mereka memiliki sistem RWH di kota besar bernama ‘rojison’, namun lebih menekankan fungsi keamanan dan perlindungan lingkungan. Prinsipnya sama dengan RWH, namun air hujan atau air salju ditampung di tangki bawah tanah dengan pompa yang bisa diakses publik dari atas. Penggunaan air diutamakan bagi masyarak untuk pencegahan awal kebakaran serta sanitasi darurat (mandi, mencuci) di saat musim panas dan cadanga air tanah sangat sedikti.
Curah hujan Indonesia yang tinggi (diatas 200mm/tahun) sangat sesuai untuk RWH. Dengan kembali pada konservasi air tradisional, dan mau melakukan sedikit strategi penyesuaian di lingkungan hunian kita. Situasi krisis air sangat mungkin sekali kita hindari.
***
Membangun kebiasaan posistif perlu komitmen kuat. Tidak itu saja, tindakan konservatif atau hemat juga membangun kesabaran, baik waktu dan emosi. Di masyarakat kita, kadang perilaku hemat dibalas dengan stigma sosial sebagai ‘tidak-mampu’ atau ‘miskin’. Demikian juga itu dampak positif kadang tidak terasa atau terlihat saat itu juga. Namun jiwa yang sehat dan teguh akan mudah menepis ini. Ini perlu dibekali keyakinan kuat, bahwa berpengaruh atau tidaknya tindakan positif kita, Alloh PASTI akan membalasnya.
Ingat, Nabi Muhammad SAW menjunjung kebaikan kecil kita, yang manfaatnya mungkin belum terlihat saat itu juga: “Hai Abu Hurairah! Singkirkanlah duri dari jalan yang akan dilalui orang yang lebih mulia darimu, lebih kecil darimu, lebih baik darimu, dan bahkan orang yang lebih buruk darimu. Jika engkau berbuat demikian, niscaya Allah membanggakan engkau kepada para malaikat-Nya. Dan barangsiapa dibanggakan Allah kepada para malaikat-Nya, niscaya ia muncul pada hari kiamat dalam keadaan aman dari segala yang buruk.” (al-Hadits).”
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat menyakitkan” (Q.S. Ibrahim: 7)
Mari kita mulai sisakan air bersih untuk Generasi Penerus kita.