MASYARAKAT Kabupaten Blora tentunya tak asing lagi dengan Masjid Agung Baitunnur, masjid yang terletak di tengah Kota Blora, yakni di alun-alun barat Kota Blora. Masjid tertua di Blora ini berdiri pada masa kepemimpinan Mataram, yaitu pada zaman pemerintahan Sultan Agung antara tahun 1613-1645.
Masjid ini dulunya dikenal dengan nama Masjid Doro Ndekem (Merpati duduk-red), karena pada saat berdirinya letak tanahnya lebih rendah dibanding alun-alun kota tersebut, sehingga tampak seperti burung merpati yang sedang duduk (Ndekem-bahasa Jawa-red).
Sebagaimana kebiasaan pada zaman dahulu, alun-alun adalah sebagai tempat yang strategis suatu pemerintahan. Sehingga kegiatan apapun selalu dipusatkan di situ. Dengan pertimbangan itulah maka Pangeran Pojok yang saat itu merupakan salah satu panglima perang, memutuskan membangun masjid di seputar alun-alun.
Saat ini masjid yang berluas kurang lebih 2 ribu meter persegi ini sudah masuk cagar budaya dan merupakan aset sejarah nasional, bersama lima masjid tertua di Jawa Tengah. Oleh sebab itulah keaslian di dalam masjid ini sampai sekarang masih terjaga. Seperti ruang atas masjid yang letaknya di bawah kubah utama. Lokasi yang dahulu menjadi tempat penyimpanan kitab dan pusaka serta bersemedi masih tetap terpelihara rapi.
Namun dalam perkembangan zaman Masjid Baitunnur ini, mengalami perubahan yang cukup banyak. Diantaranya yang sangat mencolok adalah tambahan tempat ibadah di depan, dan tempat wudhu yang serasa berada di bawah tanah, yaitu di sebelah timur lebih bawah dari ruang masjid utama.
Ada satu kebiasaan unik dan sangat dinanti-nantikan warga muslim Blora setiap bulan Ramadhan, yaitu bunyi sirine kuno nguuk peninggalan Belanda, yang menandai telah masuk waktu berbuka puasa atau imsak. Suara sirine ini akan menggema cukup keras dan terdengar sampai sejauh 5 kilometer lebih.
Bunyi sirine ini selalu mendahului suara adzan maghrib dari masjid manapun yang ada di Blora. Sebab suara sirine yang sering disebut “nguuk” oleh warga Blora ini dijadikan rujukan semua masjid dan musholla. Setelah sirine berbunyi, Masjid Agung Baitunnur seketika langsung mengumandangkan adzan maghrib, dan adzan maghrib Masjid Agung Baitunnur ini menjadi rujukan bagi masjid-masjid dan musholla lainnya di Blora untuk segera mengikuti mengumandangkan adzan.
Jika Masjid Agung Baitunnur belum adzan maka masjid yang lain juga belum adzan. Masjid yang lain akan bersahut-sahutan mengumandangkn adzan ketika Masjid Agung telah selesai mengumandangkan adzan. Oleh karena itu setiap sore suara sirine itu selalu dirindukan seluruh warga Blora mendekati waktu berbuka. Hal ini menjadi salah satu ciri khas nuansa ramadhan di Kota Blora. Bahkan konon bunyi sirine itu bisa terdengar lebih jauh misalnya sampai Kecamatan Tunjungan dan lainnya. Atau di desa-desa pelosok di wilayah Kecamatan Kota. Semakin jauh dan sepinya suasana desa konon suara sirine itu semakin jelas terdengar. Sehingga sirine ini dirasa efektif untuk menandai saatnya berbuka puasa dan waktu imsak.
Entah siapa yang memulai menggunakan suara sirine itu sebagai penanda buka puasa, soalnya hal ini sudah menjadi tradisi turun temurun di wilayah Blora. Yang pasti sudah sangat lama sirine itu difungsikan seperti ini.
Pada zaman kolonial Belanda dahulu suara sirine ini digunakan untuk tanda pemberlakuan jam malam. Setelah sirine berbunyi, semua warga dilarang keluar rumah dan sebagai tanda bahaya yakni adanya serangan dari penjajah. Sirine dibunyikan dengan harapan warga berkemas dan para pejuang bersiap menghadapi musuh. Sehingga kondisi dahulu dengan sekarang sangat berbeda fungsinya.
Jika dahulu warga sangat tidak berharap sirine tersebut dibunyikan, sebab jika sirine itu dibunyikan maka akan ada bahaya yang datang. Tetapi kini selama ramadhan bunyi sirine itu selalu dinantikan untuk pertanda waktunya berbuka puasa. Selain saat ramadhan, sirine ini juga dibunyikan saat Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi setiap tanggal 17 Agustus di Alun-alun Blora. //**