oleh: Dr. H. Ardito Bhinadi, M.Si
Pada artikel sebelumnya telah disampaikan 7 (tujuh) transaksi yang haram dan wajibnya hijrah dari bank konvensional ke bank syariah. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini banyak umat Islam yang telah terjebak pada transaksi riba. Mereka menyimpan uangnya di bank konvensional dan memakan bunganya.
Ada pula yang meminjam di bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk konsumtif maupun usaha (produktif). Bagaimanakah agar terhindar dari praktek riba? Solusinya adalah supaya hijrah ke bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Bank syariah menawarkan dua produk utama, yaitu simpanan dan pembiayaan. Produk simpanan bank syariah terdiri dari tabungan, deposito, dan giro. Pada produk simpanan, ada dua akad yang digunakan, yaitu akad wadi’ah dan akad mudharabah. Wadi’ah (titipan) adalah transaksi penitipan dana atau barang dari pemilik kepadapenyimpan dana atau barang dengan kewajiban bagi pihak yang menyimpan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu (Bank Indonesia, 2008). Akad wadi’ah biasa digunakan untuk produk simpanan berupa tabungan dan giro. Jika nasabah memilih akad wadi’ah, maka bank syariah akan menerima titipan uang tersebut dan disimpan dengan baik. Nasabah dapat mengambilnya sewaktu-waktu sesuai yang dibutuhkan. Bank dapat memberikan bonus atas titipan uang tersebut. Besarnya bonus tidak boleh diperjanjikan di depan, dan semata-mata merupakan pemberian bank kepada nasabah.
Akad mudharabah dalam produk simpanan adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Ketika nasabah memilih akad mudharabah dalam produk tabungan atau deposito, ia akan mendapatkan bagi hasil sesuai nisbah yang telah disepakati bersama bank syariah.
Misal nasabah mendapatkan nisbah bagi hasil 35 persen dan bank syariah 65 persen. Uang tabungan dan deposito milik nasabah akan diputar oleh bank untuk pembiayaan yang menguntungkan. Hasil keuntungan dari penyaluran dana tersebut dibagi dengan nisbah yang telah disepakati tadi. Uang simpanan nasabah akan bertambah karena setiap bulannya akan mendapatkan bagian keuntugan yang diperoleh oleh bank. Berbeda dengan bank konvensional, simpanan nasabah akan diberikan bunga sebesar persentase tertentu. Hasil dari bunga ini haram, sedangkan tambahan simpanan nasabah yang berasal dari bonus maupun bagi hasil hukumnya halal.
Produk pembiayaan bank syariah ada beberapa macam, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip, yaitu: prinsip jual beli, prinsip bagi hasil, dan prinsip sewa menyewa atau upah. Apabila masyarakat membutuhkan rumah atau kendaraan dan uangnya belum mencukupi, maka dapat mengajukan pembiayaan ke bank syariah. Contoh: A membutuhkan membeli rumah seharga Rp 300 juta, namun baru memiliki uang sebanyak Rp 100 juta. Maka A akan mengajukan pembiayaan pembelian rumah kepada bank syariah. Setelah memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan oleh bank, maka bank akan membeli rumah tersebut pada pengembang perumahan seharga Rp 300 juta. Setelah itu bank akan menjual kembali rumah tersebut kepada A dengan mengambil keuntungan (margin) misalnya 50 persen. Jadi bank menjual rumah tersebut sebesar Rp 450 juta kepada A dan boleh diangsur selama 10 tahun. KArena A telah memberikan uang muka sebesar Rp 100 juta, maka A tinggal mengangsur sebanyak Rp 300 juta selama 10 tahun ke bank syariah. Inilah yang dinamakan prinsip jual beli dengan menggunakan akad murabahah.
Pengertian murabahah adalah akad yang dipergunakan dalam perjanjian jual beli barang dengan menyatakan harga pokok barang dan keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual (bank syariah) dan pembeli (nasabah). Bank syariah membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya, di mana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah atas nama bank syariah sendiri, kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah sebesar harga jual yaitu harga pokok barang ditambah keuntungan.
Prinsip bagi hasil biasanya digunakan untuk pembiayaan yang bersifat produktif. Contoh: A ingin mengembangkan usaha produksi tas. Modal tambahan yang diperlukan senilai Rp 250 juta rupiah. A kemudian mengajukan pembiayaan usaha kepada bank syariah sebesar Rp 250 juta rupiah. Setelah seluruh persyaratan pengajuan pembiayaan lengkap, akan meneliti kelayakan pengajuan tersebut. Jika dianggap layak, maka bank syariah akan menyalurkan pembiayaan usaha tas kepada A. Keuntungan usaha yang berhasil diperoleh A, dibagi hasilkan dengan bank syariah sesuai dengan nisbah bagi hasil yang disepakati, misalnya A mendapatkan bagian 60 persen dari keuntungan, dan bank syariah mendapatkan bagian 40 persen dari keuntungan. Inilah yang dinamakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil menggunakan akad mudharabah.
Mudharabah dalam pembiayaan ini adalah bentuk kerjasama dari pemilik dana (bank syariah/LKS) kepada pengelola dana (nasabah pembiayaan) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana kecuali jika kerugian tersebut disebabkan kelalaian dan kecerobohan pengelola dana, maka kerugian ditanggung pengelola dana.
Bank syariah juga menyediakan pembiayaan dengan prinsip sewa menyewa/upah. Contoh: A menginginkan untuk menitipkan perhiasan dan barang berharga lainnya ke dalam safe deposit box (kotak penyimpanan yang aman) yang disediakan oleh bank syariah. Bank syariah dalam hal ini akan mengenakan uang sewa kepada A atas transaksi tersebut.
Prinsip sewa menyewa/upah ini juga digunakan oleh pegadaian syariah dalam produk gadai syariah (rahn). Contoh: A meminjam uang kepada pegadaian syariah sebesar Rp 100 juta dan menggadaikan emasnya senilai 3 (tiga) ons. Pegadaian syariah akan membuat akad utang piutang (qardh) dan akad wadi’ah dengan A. Pinjam meminjam uang Rp 100 juta menggunakan akad qardh, A mengembalikan utangnya sebesar Rp 100 juta ke pegadaian dalam jangka waktu yang disepakati tanpa adanya tambahan apapun. Terkait dengan titipan emas seberat tiga ons, pegadaian syariah akan meminta biaya penitipan berdasarkan prinsip ijarah (sewa menyewa/upah). A berkewajiban membayar biaya penitipan emasnya kepada pegadaian syariah sesuai kesepakatan.
Bagaimanakah jika selama ini masih terjerat utang ke bank konvensional, baik untuk keperluan konsumtif (pembelian rumah/kendaraan) dan usaha? Padahal jelas riba, hukumnya haram. Pinjaman ke bank konvensional tersebut dapat di-take over (dipindahkan) ke bank syariah. Pada bagian selanjutnya insya Allah akan dibahas mengenai take over dari bank konvensional ke bank syariah dan pengenalan produk lembaga keuangan syariah lainnya.